ketika rakyat bermental hamba. Ketika tokoh yang berkuasa bermental borju dan korup.Ketika itu komunitas masyarakat suatu daerah berkembang dengan sangat lambat.Di sisi lain,di saat yang sama, kelompok tokoh, leluasa menikmati kekayaan milik masyarakatnya. Apakah ini anti demokrasi?.
Tentu saja jawabannya YA.
Tengah berlangsungya praktek menolak demokrasi pada suatu daerah seperti deskripsi di atas dapat dilihat lebih jelas dari dua persoalan ini, pertama kepemimpinan berbasis turunan. Pada titik ini berlaku adagium bersifat laten, “Kalau aku bupati saat ini, esok anak saya otomatis bupati pengganti saya”.
Kedua, membela KKN atau ‘oligarki’ melalui pemberdayaan “preman politik”. Preman politik di sini adalah tim sukses, relawan pilkada, ormas, kelompok media massa. Bahkan oknum polisi dan TNI.Semuanya merupakan klien dari patronnya bernama penguasa daerah.
Nah, ketika LSM mengendus adannya praktek korupsi berjamaah oleh ‘predator-predator” terhormat di eksekutif dan legislatif. Kokohnya oligarki para predator penguras kekayaan daerah. Lantas masalah ini dipublikasikan di media atau “parlemen jalanan”. Kelompok preman politik mau tak mau maju ke depan pasang badan melakukan perlawanan.
Perlawanan tidak hanya diarahkan pada kelompok pro demokrasi tetapi juga masyaarkat awam dan dilakukan dalam pola pencegahan dan penyelesaian masalah secara persuasif atau represif . Hasilnya, KKN dan oligarki di daerahnya terawat.
Itu terungkap dalam diskusi kecil bersama anggota Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Distrik Kota Makassar Andi Rum di kediaman saya.
“Dari halaman rumah jabatan kepala daerah kami dilempari batu oleh preman politik.Dalam perjalanan kembali ke Makaasar, lagi lagi kami dihadang. Awak pers dan masayarakat awan dipaksa tutup mulut lewat ancaman pisik”, katanya, Selasa (28/09/2021) pukul.22.45 Wit.
Mentalitas koruptor dan borju pembentuk ‘oligarki’ yang menolak demokrasi dalam suatu kabupaten, kota dan propinsi bisa menyingkirkan mentalitas demokratis karena pada umumnya rakyat berada pada kondisi terbelakang dari sisi IQ dan EQ terkait demokrasi (*)