Liputantimur.com | Opini – Kecerdasan dan kemanjaan manusia semakin mendapat peluang yang lebar dengan kehadiran kerja teknologi yang berbasis komputer dengan model kerja Intelligence artificial yang mempermudah kerja manusia.
Namun konsekuensi logisnya manusia akan semakin kehilangan daya sentuh kemanusiaannya sebagai kodrat pemberian Tuhan yang menjadi bagian dari keistimewaan manusia dibanding makhluk lain yang ada di bumi. Tidak kecuali untuk disandingkan dengan malaikat sekalipun, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Akibat dari teknologi yang melahirkan Intelligence Artificial lalu digunakan oleh manusia untuk mengatasi pekerjaan hingga masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, eksistensi manusia semakin mendekati perilaku binatang, karena akan lebih dominan abai terhadap timbang rasa, sikap toleransi serta nilai-nilai kemanusiaan yang tidak sama sekali dimiliki oleh mesin atau cara kerja dari artificial intelligence.
Inilah keresahan umat manusia yang paling menakutkan pada era milenial termasuk dari produknya yang akan melahirkan generasi masa depan yang pasti akan lebih bersifat egoistis, individualistis.
Oleh karena itu, gerakan kesadaran dan kebangkitan spiritual semakin mendesak dan perlu untuk didorong agar bisa memberi keseimbangan — setidaknya — bila tidak sepenuhnya mampu untuk mengatasi laju keterpurukan nilai-nilai manusia sebagai Khalifah di muka bumi.
Adapun nilai-nilai dari kemanusiaan manusia yang sejati ini merupakan fitrah bawaan sebagai pemberian Illahi Rabbi yang bersifat sakral dan penuh nuansa spiritual yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, termasuk malaikat, apalagi syaitan dan iblis.
Karena itu, untuk mengendalikan kecerdasan yang cuma berbasis ilmu maupun pengetahuan yang semakin menghamba kepada kecanggihan teknologi — utamanya artificial Intelligence — perlu dipandu oleh kecerdasan spiritual yang berbasis pada etika, moral serta akhlak manusia yang menandai kemuliaan, agar tidak pongah mengedepankan ilmu dan pengetahuan yang cuma bertumpu pada akal (intelektual) manusia yang sangat terbatas, apalagi abai pada kecerdasan spiritual yang harus memandu kepada jalan yang lurus — shiratal mustaqim — yang langsung route map-nya dipandu oleh Tuhan dari langit.
Dan bila bisa merujuk pada Imam Abu Ja’far bin Juraih memberi kesaksian bahwa para ahli tafsir pada masanya telah sepakat bahwa shiratal Mustaqim artinya adalah jalan yang jelas dan lurus, tidak ada penyimpangan di dalamnya.
Celakanya orientasi dari pendidikan di Indonesia semakin mabuk mengejar ilmu, bukan pengetahuan yang cenderung meninggalkan akal budi yang diperkuat dan diperkaya untuk menjaga batin dengan segenap perangkat yang ada di dalamnya.
Akibatnya, kecerdasan intelektual semakin pongah meninggalkan mengabaikan kecerdasan emosional apalagi kecerdasan spiritual yang harus menjaga batin — menjaga moral dan etika — agar manusia tetap berakhlak mulia.
Jadi daya rusak artificial Intelligence yang membius kemanjaan dan kepongahan bagi manusia sungguh sangat rentan dan mengancam tatanan nilai-nilai luhur kemanusiaan manusia. Karena artificial Intelligence yang memanjakan hidup manusia bisa membuat lena, abai terhadap kecerdasan spiritual, karena artificial Intelligence seperti memperoleh posisi yang lebih pas dan nyaman bersama kecerdasan intelektual.
Ilmu maupun pengetahuan yang semakin fokus diorientasikan kepada teknologi yang terus merayap dari empat poin sero ke level berikutnya sungguh membanggakan bagi manusia, tetapi juga menambah sungguh mencemaskan tergusurnya nilai-nilai kemanusiaan. Tangerang, 15 Juni 2024.
Penulis : Jacob Ereste