Jakarta – Stigma mayoritas rakyat Indonesia terhadap LGBT selalunya tak lepas dari argumen tentang posisi LGBT sebagai pendosa dan selalu dikaitkan kepada Pancasila sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Argumen itu pula yang mengkonstruksi pikiran mayoritas rakyat Indonesia sejak awal dan meletakan seorang LGBT menjadi seorang yang harus diberi stigma dan tidak dibenarkan keberadaannya di Republik Indonesia.
Hal tersebut dikirim via whatsapp dalam bentuk rilis kepada Jurnalis SA Liputan Timur pada Selasa, 4 Januari 2021, pukul 17:22 WIB.
Dalam argumen lain LGBT dianggap hanya sekadar propaganda nilai-nilai barat postmoderinisme; gerakan liberal yang ingin merubah adab, adat dan sosio-kultural ketimuran yang agamis dan spritualis di Indonesia menjadi penganut paham sekularisme yang memisahkan negara dengan agama atau yang lebih ekstrim lagi untuk menihilkan agama. Apakah benar demikian? Tentu harus kita uji.
Kalau kita mau bedah argumen yang mengacu pada sila pertama pada Pancasila tentang “Ketuhanan Yang Maha Esa” tentu kita harus urai apa yang dimaksud pada sila pertama itu. Seringkali argumen mayoritas rakyat Indonesia menjadi tidak utuh sebab pemahaman mereka kukuh pada agama yang “diakui” saja. Konstruksi pikiran itu mengacu pada Pasal 1 UU PNPS No 1 Tahun 1965 tentang agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”. Lalu bagaimana dengan eksistensi Sunda Wiwitan, Kaharingan, Malim, Marapu, Kejawen dan banyak lagi aliran kepercayaan yang dianut oleh sebagian rakyat indonesia terutama kepercayaan yang dianut oleh Bissu di Bugis yang berkait erat dengan maksud dikeluarkan press release ini.
Untuk merekonstruksi secara total argumen yang tidak utuh itu kita harus kembali kepada UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, serta negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dalam perubahan kedua UUDNRI Tahun 2000 Pasal 28E dan 28I dituangkan lebih terperinci mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan dikaitkan dengan; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Maka argumen tentang eksistensi Ketuhanan dan agama yang “diakui” hanya terbatas pada Pasal 1 UU PNPS No 1 Tahun 1965 dengan sendirinya batal. Terutama sejak dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengakomodir para penganut kepercayaan untuk bisa mencantumkan aliran kepercayaan pada kolom agama dalam KTP.
Dalam paragraf selanjutnya saya ingin membantah argumen tentang eksistensi LGBT yang hanya dikaitkan dengan postmodernisme, liberalisasi dan sekularisasi ala barat, sekaligus membeberkan fakta bahwa ada “Ketuhanan” yang berkait erat dengan LGBT di Indonesia.
Fakta bahwa ada eksistensi Calabai, Calalai dan Bissu di Sulawesi Selatan khususnya bugis sebagai tatanan adat, kebudayaan sekaligus Ketuhanan sejak pra-Islam hingga hari ini tidak bisa dibantah. Jauh sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan masyarakat Bugis sudah mengenal keberagaman gender, setidaknya lima gender. Gender pertama adalah oroane (laki-laki), gender kedua adalah makunrai (perempuan), gender ketiga adalah calabai (transpuan), gender keempat adalah calalai (trans laki-laki), dan gender kelima adalah bissu (pemuka agama androgini).
Kedatangan eropa ke Sulawesi Selatan khususnya Bugis saat itu menjadi fakta yang mengejutkan bagi mereka, sebab di masa itu eropa masih tidak mengenal gender selain laki-laki dan perempuan. Jika ada yang kedapatan menjadi gender selain laki-laki dan perempuan akan mendapatkan persekusi yang sangat keras–––dibakar hidup-hidup. Sebaliknya yang terjadi di Sulawesi Selatan saat itu adalah; selain mengenal lima gender, juga menempatkan bissu pada tempat yang sangat agung. Bissu dianggap orang suci yang dianggap mampu menghubungkan antara masyarakat dengan Tuhan mereka. Bissu berperan sebagai pemuka adat, ahli “ritual trance”, yang dalam bahasa Bugis disebut a’soloreng. Bukankah ini fakta bahwa Indonesia lebih dahulu mengenal keberagaman gender daripada eropa ?
Maka eksistensi LGBT di Indonesia tidak serta-merta bisa langsung dikait-kaitkan dengan pemikiran postmodernisme, liberalisasi dan propaganda sekularisasi, kendati memang ada semacam kampanye tentang LGBT yang sedang bergulir di dunia. Sekali lagi saya mengajak seluruh ahli-ahli untuk mencari titik ekuilibrium dari persoalan sosial ini.
Sebagai penutup saya berpendapat, “Indonesia adalah negara demokrasi berfalsafah Pancasila yang kendati di salah satu silanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” tetapi tidak akan pernah bisa dipertentangkan dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Karena sejak awal para pendiri Bangsa Indonesia menyadari bahwa tanpa keberagaman; suku, adat, budaya dan agama, Bangsa Indonesia itu sendiri tidak pernah ada. Dan jika uraian di atas dianggap tepat, maka sesungguhnya Pancasila tidak melarang LGBT”.
(Red)