Syahdan, jarak antara bumi dan bintang X dalam kalender bumi adalah 100 tahun perjalanan jika mengunakan pesawat berkecepatan hipersonik.
Namun jarak tempuh berkurang menjadi 1 tahun saja jika menggunakan peswat terbang berkecapatan cahaya (200 ribu km per detik).
Itu kata guru saya saat menjelaskan penerapan teori kecepatan cahaya di dunia nyata dari pemegang Nobel Fisika Albert Einstein .
Jadi, semakin cepat laju pesawat semakin singkat waktu tempuh. Sebaliknya semakin lambat laju pesawat semakin lama waktu tempuh.
Teori itu masuk akal bukan ?. Tentu saja, masuk akal bagi mereka yang memiliki akal sehat dan cerdas.
Memang benar, teori kecepatan cahaya itu memiliki konsekuensi pada umur manusia yang mengoperasikan pesawat terbang. Mari kita lihat sejauh mana pengaruhnya.
Fulan menggunakan pesawat berkecepatan cahaya menuju bintang X. Saat ‘take off’, umur Fulan 29 tahun. Pada saat yang sama isteri Fulan yakni Falin berusia 25 tahun.
Tiba di bintang X, umur Fulan bertambah 1 tahun, menjadi 30 tahun.
Setelah 10 jam berjalan-jalan di atas tanah Bintang X , Fulan kembali ke bumi dengan pesawat antar planetnya.
Nah, ketika Fulan tiba di Bumi, umurnya bertambah 1 tahun 10 jam, menjadi 31 tahun 10 jam. Akan tetapi umur isterinya sudah mencapai 200 tahun + 27+10 jam=227 tahun 10 jam.
Fulan masih hidup padahal versi umur buminya suda tua, 231 tahun 10 jam. Sebaliknya, sang isteri sudah terkubur dan menjadi fosil selama 200 tahun lebih. Fulan panjang umur, isterinya tidak.
Namun ada hal yang menjengkelkan sekaligus mengerikan bagi Fulan.
Di tengah masyarakat kampungnya, Fulan merasa dirinya seperti pendatang baru, orang asing dan kuno padahal ia meninggalkan bumi sebentar saja,tak lebih 13 jam.
Semakin cepat laju pesawat terbang semakin panjang umur pilot di hadapan warga bumi. Sebalinya umur pilot sangat tua di hadapan warga langit jika semakin lambat laju pesawatnya.
Hemmm….. Sungguh apa yang dialami Fulan sama seperti yang dialami 7 pemuda Ashabul Kahfi yang kita temukan kisanya di dalam Al-Qur’an surah Al Kahfi.
Ke-7 pemuda ini tidur nyenyak di gua selama kurang lebih 309 tahun. Saat mereka bangun, penduduk sekapung melihat kelompok pemuda ini laiknya mahluk aneh dan sangat kuno. Sudah ratusan tahun uang koinnya tidak berlaku dan menjadi koleksi museum benda purbakala dan para kolektor.
Kembali ke pasawat antar planet.Satu saat manusia dapat membuat pesawat antar planet berkecepatan cahaya. Bahkan mungkin bisa lebih cepat karena ada ditemukan ‘sesuatu’ yang memiliki kecepatan luar biasa, jauh melampaui kecepatan cahaya.
Kalau itu terjadi, para astronot saat itu akan menemukan dirinya seperti si tuan Fulan dan 7 pemuda Ashabul Kahfi.
Penyangkalan
Kisah Fulan dan 7 pemuda Ashabul Kahfi dikategorikan ke dalam kisah yang masuk akal. Dalam bahasa keilmuan, teori kebenaran, kisah itu disebut kebenaran logis.
Apalagi dalam kenyataannya ada yang kita sebut ‘cahaya’ dan memiliki kecepatan rambat, setelah dikur, mencapai kurang lebih 200 ribu km per detik.Semakin logislah kisah itu.
Tidak ada akal sehat yang menolak kebenaran teori cahaya Einstein. Tidak ada pula yang menolak kebenaran logik dari narasi Fulan dan Ashabul Kahfi karena masuk akal.
Anehnya, ketika kita menyodorkan kisah Ashabul Kahfi pada kaum ateis, mereka menyangkalnya sebagai kebenaran. “Itu kisah seperti cerita cinderella”, katanya dengan nada yakin.
Tetapi ketika kita sodorkan narasi astronot si Fulan, ateis menerimanya sebagai kebenaran. “Oh cerita astronot Fulan itu memang benar dan masuk akal”, katanya.
Kalau masuk ke wilayah agama, ateis mengunakan pendekatan empirik (kebenaraan ialah kenyataan yang dapat ditangkap, dirasa dan dihadirkan) untuk menolak kisah Ashabul Kahfi.
Di luar wilayah agama, misalanya narasi astronot Fulan, ateis menggunakan pendekatan logis (kebenaran logis: pernyataan dianggap benar dan masuk akal tanpa perlu hadirkan bukti fisik ) untuk menerima cerita Fulan sebagai kebenaran.
Aneh kan?.
Padahal semua mahluk cerdas paham bahwa ukuran kebenaran ialah logis dan atau empiris.Kalau uda logis, tak perlu empiris.Begitu pun kalau sudah empiris, tak perlu dipaksa logis.
Memang lebih afdol jika sebuah pernyataan mengandung kebenaran logis dan empiris.Sayangnya tidak selamanya manusia dapat mencapai dua patokan kebenaran sekaligus dalam upayanya mencari kebenaran akibat keterbatasan manusia sendiri.
Tak salah, ateis adalah mahluk bodoh yang menipu diri sendiri.Dia juga sangat subjektif.Karena itu ateisme tak pantas hidup di belantara ilmu pengetahuan (*)