Demokrasi di Bawah Tekanan Oligarki

Liputantimur, Opini – Tentang sebuah demokrasi di bawah tekanan Oligarki penguasa.

Dimana pemerintah mempunyai angka lengkap, tentang kebun-kebun dan perusahaan, perusahaan yang menguntungkan, termasuk nama-nama orang yang akan membayar pajak tapi lupa memberi kepastian tentang memberi penghidupan rakyat seluruhnya.

Sebuah ”Demokrasi Rule of the people”
Definisi tentang demokrasi ini memiliki banyak terminologi menurut Paul Broker.

Antara lain menyangkut aturan manusia dari kebebasan berpolitik sampai kebebasan sipil.

Artinya, demokrasi ini menginginkan adanya kontrol Rakyat atas semua proses kebijakan, dan keputusan yang bersandar pada kesepakatan orang banyak.

Diantaranya, memiliki kesamaan hak dalam mengendalikan, hal itu tentu demokrasi jadi sebuah cita-cita besar sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Namun, dewasa ini demokrasi menjadi sebuah definisi yang kabur, karena konsep demokrasi dalam bentuk pengaplikasiannya kadang saling berlawanan.

Kontradiksi ini menyangkut bahwa, demokrasi ini adalah sebagai konsep persepektif atau deskriptif, demokrasi itu sebagai prosedur kelembagaan atau gagasan normatif.

Seperti, demokrasi representatif versus demokrasi langsung, demokrasi partisipasi versus demokrasi elit, demokrasi liberal versus demokrasi non liberal, demokrasi sosial versus demokrasi politik.

Demokrasi sebagai hak asasi seseorang, atau kebaikan kolektif, demokrasi sebagai realisasi persamaan atau mentransformasikan perbedaan.

Berbagai kontradiktif tersebut menyebabkan definisi sehingga demokrasi menjadi perdebatan, itulah artinya kita masih menjadi masalah dalam pengertian subtansial tentang “ Demokrasi rule of the people “.

Perbincangan tentang demokrasi ini tentu bagi para ilmuwan Yunani kita sebut Aristoteles dan Socrates mereka tidak pernah menempatkan demokrasi, sebagai pilihannya.

Socrates menganggap sistem demokrasi dapat melahirkan embrio pemimpin yang prematur, karena proses pemilihan pemimpin tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas, serta tidak tau dari mana asal usulnya.

Sehingga yang menjadi akibat pada tata kelola pemerintahan dan bahkan pada persinggungan kedua pemikir ini justru mereka lebih menempatkan pilihannya pada Aristokrasi karena pada dasarnya kita bisa mengukur kemampuannya, dalam memecah konflik yang dihadapi oleh rakyatnya.

Sehingga ini menjadi jalan panjang demokrasi yang hampir sampai periode zaman masih menjadi percakapan yang tiada henti.

Di Indonesia misalkan, bicara demokrasi ini dalam terminologinya Indonesia kita sebut jalan ketiga demokrasi setelah paska jatuhnya rezim orde baru dibawah kekuasaan Soeharto melalui gelombang aksi yang dimotori oleh para mahasiswa.

Kita sebut riak 98, akan tetapi menjadi catatan besar kita bahwa seolah olah realita yang kita hadapi, setelah pasca orde baru , ini semacam proyeksi, Cuma dibungkus dalam bentuk kebebasan dan daulat rakyat.

Dalam survei diungkapkan bahwa, model konsolidasi demokrasi secara indeksnya turun. Diakibatkan oleh misalkan masalah HAM, korupsi, kebebasan sipil, masalah radikalisme yang sampai hari ini masih mewarnai di ruang publik.

Tentu tawaran sistem demokrasi ini menjadi problem dan menjadi dilema mau dikemanakan jalan ketiga demokrasi di indonesia ini.

Cita-cita ini hanya mengisahkan korban nyawa, cita cita ini demokrasi ini hanya melahirkan malapetaka bagi masyarakat, siap tidak siap kita tetap diperhadapkan dengan elite elit dominan yang hanya menyibukkan diri dengan kepentingan individu dan penguatan bisnis, dan pasar.

Untuk melihat kecendrungan ini lihatlah konteks Kondisi ditengah wabah Covid-19. Negara hadir menawarkan penguatan bisnis dan pasar sebagai investasi kepentingan modal dan kepentingan politik.

Itulah yang disebut mengendalikan praktek Ekonomi sosialis, Negara pun hadir mengendalikan semuanya.

Kualitas demokrasi kita harus diuji dengan kebijakan yang tak berembes pada paras kepentingan pribadi melainkan harus ditentukan dengan sikap serta kebijakan kemanusiaan, dan kesejahteraan itulah marwah demokrasi yang sebenarnya demi menguat demokrasi subtansial.

Itulah sebabnya setelah perang dunia kedua II Negara hadir sebagai ( welfarse state ) ada terjadi perubahan pemikiran kaum sosialis.

Pada permulaan tahun 1960 banyak diantara partai sosialis democrat eropa yang melepaskan diri dari hubungan-hubungan ikatan- ikatan, ideologi marx. Mereka justru merubah sikap terhadap hal milik privat, dan tujuan mereka yang semula pada hak milik kolektif secara total.

Perhatian mereka curahkan terhadap upaya “ menyempurnakan ramuan “ pada perekonomian campuran akibatnya disfungsi antara sosial dan negara kesejahteraan modern ( the modern welfare state ) dianggap sebagai perbedaan perbedaan yang bersifat gradual.

Menurut Militon H. spencer “ Sosialisme demokrasi modern merupakan gerakan yang berupaya memperbaiki kesejahteraaan masyarakat melalui tindakan”.

Yakni, Memperkenalkan adanya hak milik privat, atas alat-alat produksi, Melaksanakan pemilikan oleh Negara (public ownwrship) hanya apabila hak tersebut diperlukan, demi kepentingan masyarakat dan mengendalikan diri secara maksimal atas perekonomian pasar dan membantunya dengan perancanaan untuk mencapai sasaran sosial dan ekonomis yang diinginkan.

Menurut james Midgley, “Negara kesejahteraan berfokus pada dua konsep, yaitu sosial welfare dan economic development atau yang disebut antithetical nations. Economic development (pembangunan ekonomi ), berkenan dengan pertumbuhan baik, hak sosial, dan membangun layanan sosial bagi masyarakat miskin”.

Simak: Anti Demokrasi

Namun, the rule of the people, akan bersinggungan dengan the modern welfare satate, karena akan ada kemungkinan bahwa, equality politic, bahwa kedaulatan rakyat pada pemerintahan modern ini, seolah olah menjadi sebuah manfaat elit politik atau penguasa politik, yang biasanya memperjuangkan kepentingan rakyat.

Berpendapat dengan pengertian: the majority principle, yaitu: Tidak ada pemerintahan yang murni mencerminkan kehendak setiap anggota dalam masyarakat.

Sehingga prinsip kedaulatan bukan atas nama rakyat, melainkan kedaulatan mayoritas “ sehingga pemerintahan rakyat atas dasar di atas tidaklah kuat untuk mewujudkan konsep demokrasi yang ideal atau demokrasi subtansial.

Kita berharap partai politik menjadi jembatan atas semua kepentingan masyarakat, namun justru hal demikian berbanding terbalik karena dimana kepentingan rakyat hanya dijadikan semacam batas pada perbincangan para elit dan seolah-olah menjadi mediator skenario para elit belaka, untuk mencapai Nafsu politik yang dibungkus politik kepentingan, individu, kelompok dan mengakar politik dinasti.

Pada tataran pemerintahan eksekutif dan legislative praktek semacam ini menjadi bias pada kondisi kelangsungan hidup masyarakat yang tentunya telah menjadi cita-cita Negara yang tertuang dalam butir-butir Pancasila “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini menjadi sumbatan yang terus menerus menjadi sebuah dinamika yang besar di Negeri ini.

Seperti bangun narasi sejarawan Indonesia, Anwar bahwa tidak akan sejahtera jika pemerintah tidak ada yang menjawab kesejahteraan itu.

Maka dapat kita simpulkan bahwa jika para elit kita masih saja mementingkan kepentingan individu dan kelompok, maka pembicaraan harus mulai dari sini bahwa para elit yang harus diperbaiki baik dari sisi praktek politik maupun perilaku politiknya, sehingga dapat memungkinkan demokrasi dan politik menjadi cita-cita politik Good life “ menjadi jalan terbaik”.

Penulis: Husni Mubarak, Ketua (Hipma) Himpunan Pemuda Mahasiswa Matim (Manggarai Timur). Makassar. Senin (03/01/2022).

Tulisan diluar tanggung jawab penuh Redaksi.