INDIVIDU atau kelompok invidu yang cinta keadilan dan kebenaran layak disebut manusia idiealis. Tetapi jika terjadi sebaliknya.Tak cinta kebenaran dan keadilan, invidu atau kelompok invidu seperti ini pantas dijuluki preman.
Investigasi sebuah kasus yang berbau anti keadilan dan kebenaran oleh wartawan merupakan bentuk dari perwujudan idealisme wartawan.
Sedangkan membatasi langkah wartawan dalam upayanya menegakkan keadilan dan kebenaran dengan cara-cara melawan etika, moral dan hukum, masuk kategori musuh keadilan dan kebenaran. Musuh idialisme.
Fakta menunjukkan, wartawan idealis kerap menghadapi ancaman fisik, bahkan tak sedikit dari mereka harus menerima kematiaan tragis seperti yang dialami wartawan Simalungun, Sumatera Utara baru-baru ini dan jurnalis Sulbar beberapa tahun lalu.
Bagaimana menegakkan keadilan dan kebenaran tanpa harus mengorbankan nyawa sang wartawan idealis ?. Win-win solution. Ini solusinya. Solusi yang moderat.
Makusdnya, hasil investigasi wartawan terkait kasus besar, apalagi kasus-kasus yang melibatkan pejabat negara, atau konglomerat berpengaruh, jangan dipublikasikan.
Sebagai gantinya, pelaku harus berhenti mengoyak-ngoyak keadilan dan kebenaran yang dipelihara masyarakat yang beradab.
Tetapi bagaimana kalau kondisinya seperti ini; pelaku ngotot, tak mau hentikan bisnis haramnya?. Tawarkan kepadanya, agar memindahkan lokasi bisnisnya di wilayah lain.
Andaikata si pelaku tidak ingin melakukan hijrah, apa yang harus dilakukan?
Tinggalkan saja dia tanpa mempublikasikan busuknya. Idealisme di dada tak hilang jika pilihan itu dilakukan. Mengapa ?
Jangan lupakan sabda Nabi Muhammad s.a.w dari Abu Sa’id al-Khudriy ra dalam HR Muslim, “Serendah-rendahnya iman (idealisme) ialah mencegah kemungkaran dengan hati”.
Dan biarkan Sang Pencipta Alam Semesta yang menghukum para pelaku kesoliman di muka bumiNya(*)