Liputantimur.com, Opini – Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 dilakukan dengan melanggar etik. Meski begitu, secara saklek putusan MK itu tidak bisa dibatalkan. Demikian ucap Machfud MD sehingga dapat membuat Gibran Rakabuming Raka terus melenggang ikut menjadi Calon Wakil Presiden Indonesia pada Pilpres 2024.
Alangkah bahayanya MK yang memiliki kekuatan yang telah melanggar etik ini tetap bisa diterima putusannya yang dilakukan dengan melanggar etik berat itu. Ibarat dalam perniagaan, “barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Meski barang yang dimaksud tidak sesuai dengan pemesanan”.
Agak aneh juga justru Penegasan Menko Polhukam Machfud MD merasa perlu mengatakan bahwa kepesertaan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan Cawapres secara hukum sudah sah. Karena keputusan MK itu mengikat, katanya.
Anwar Usman, selaku Ketua MK dinilai terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap etik dan perilaku hakim konstitusi. Pernyataan pelanggaran berat Ketua MK ini dibacakan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie pada hari Selasa, 7 November 2023. Sanksi yang dijatuhkan MKMK kepada Ketua MK Anwar Usman adalah pemberhentian dari jabatan Ketua MK sebagai terlapor.
Dan memerintahkan kepada Wakil Ketua MK dalam waktu 2 X 24 jam sejak putusan ini untuk memimpin penyelenggaraan pemilihan Ketua MK yang baru.
Selain itu, MKMK juga memberi sanksi kepada Anwar Usman untuk tidak lagi menyidangkan perkara Pemilu yang berpotensi adanya konflik kepentingan. Masalahnya memang bisa saja dianggap sesederhana itu. Tapi rasa keadilan bagi rakyat, bagaimana mungkin putusan yang dilakukan dengan cara menyalahi etik ini, hasilnya tetap bisa diterima.
Kejanggalan serupa ini, sama halnya dengan sejumlah Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang tidak segera mengundurkan diri dari jabatan kementerian yang dipangkunya, sehingga sangat potensial untuk disalahgunakan dalam proses pemilihan dirinya sebagai Calon Presiden maupun sebagai Calon Wakil Presiden.
Logika masyarakat awam jelas tidak bisa menerima putusan yang dilakukan dengan cara melanggar etik berat itu. Karena putusan yang dilakukan dengan cara cacat etika moral itu, tetap bisa diberlakukan karena apapun putusan MK dianggap memiliki kekuatan hukum tetap yang tidak bisa dibatalkan.
Padahal, putusan hakim itu seharusnya demi dan untuk kebenaran dan keadilan, bukan demi hukum itu sendiri yang abai pada etika yang tidak bermoral. Dan untuk lebih meyakinkan kegeraman rakyat atas putusan hukum yang mengikat tanpa mengindahkan etika dan moral itu, Majalah Tempo edisi terbaru menampilkan Cover “Cacat Moral” itu untuk dipahami secara sederhana bahwa dalam Pemilu 2024 khususnya untuk Pilpres sudah terang benderang akan dilakukan dengan kecurangan dan keculasan.
Lantas, pelajaran moralitas seperti apa yang bisa diperoleh oleh rakyat dalam pesta demokrasi di Indonesia untuk lebih memuliakan harkat dan martabat manusia Indonesia yang tetap berbudi luhur dan menjunjung tinggi adat istiadat serta budaya bangsa yang bermartabat. Sebab dalam pernik melik Pemilu yang sedemikian rumit dan ruet, kerentanan untuk lebih banyak menerabas etika yang tidak bermoral itu, sangat riskan. Mulai dari usaha perebutan suara, penggiringan opini hingga praktek saat perhitungan suara dapat dimanipulasi dengan cara yang tidak jujur, tidak pula adil serta menggradasi habis hasrat pembelajaran politik yang seharusnya baik bagi rakyat.
Penulis : Jacob Ereste, Banten, 8 November 2023