Liputantimur.com, Makassar – Kurang 22 tahun bangsa Indonesia sudah genap 1 abad merasakan kemerdekaan, tak terkecuali masyarakat hukum adat yang eksistensinya diakui dan dihormati oleh negara melalui Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti tercantum dalam pasal 18B ayat (2) yang menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Namun Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat secara nasional masih dalam rancangan, begitupun di Daerah.
Dari sejumlah peraturan daerah (Perda) yang telah disahkan baru sekitar 0,1 persen Perda untuk pengakuan dan Perlindungan tentang Hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan (Sulsel), baru beberapa Kabupaten yang memiliki Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat khususnya di Sulsel yakni, Kabupaten Bulukumba, Enrekang, Toraja Utara, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur serta Kabupaten Sinjai dengan Perda Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
Sehingga hal tersebut dinilai oleh praktisi hukum bahwa selama ini alih-alih pemerintah dengan DPR terkesan tidak berani dalam mengundangkan untuk Perlindungan Hak-hak masyarakat hukum adat.
Akibatnya masyarakat adat sering kali tidak berdaya dalam melawan para mapia tanah di atas wilayah masyarakat hukum adat terutama saat berhadapan dengan pemegang izin Hak Guna Usaha (HGU).
“Hanya 0,1 persen pemerintah daerah berani mengundangkan itu dalam bentuk peraturan daerah (Perda) dan ini yang harus pemerintah ambil sikap tegas sebab apa gunanya Undang-Undang mapia tanah tapi prinsipnya mapia tanah ini merajalela di depan mata tidak ada yang bisa, karena kenapa? Mapia tanah dilegalkan dengan HGU ini yang menjadi problemnya, ketika mereka sudah memiliki hak guna usaha maka kesulitan masyarakat melakukan perlawanan, kemudian kita berharap ke-kehutanan, dinas kehutanan juga tidak berdaya berada dibawah tekanan bupati iyakan,” Kata Dr. Muhammad Nur S.H., M.H,. Selaku Praktisi Hukum yang aktif memberikan pendampingan kasus sengketa tanah adat dengan pihak mapia tanah adat.
Dr. Muhammad Nur yang akrab disapa Dr. Nur juga menjelaskan bahwa pada prinsipnya negara wajib melindungi Hak-hak masyarakat ulayat adat, kendatipun tanpa melalui pembahasan di DPR, Presiden dan Kementrian yang terkait memiliki kewenangan menentukan tanah ulayat.
“Sebenarnyakan tanpa haruspun diperbingcangkan dan dibahas di DPR, pemerintah dalam hal ini presiden dan kementrian terkait memiliki kewenangan yang penuh untuk menentukan itu tanah ulayat tanpa harus diperbincangkan di DPR karena prinsipnya memang negara wajib melindungi tanah adat itu hutan itu apalagi di dalamnya ada masyarakat adat yang harus dijaga eksistensinya,” ujar Dr. Nur saat ditemui di beranda Warkop 33, Perumahan Citra Land, Jalan Tun Abdul Razak, Rabu (09/08/2023) malam.
Baca Bamsoet Dorang RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat
Dia pun merespon terkait dorongan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat saat ini, menurutnya sejak awal pemerintah sering menyampaikan hal itu melalui media. Tapi sampai pada saat ini, belum ada Undang-Undang yang disahkan terkait Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat adat secara nasional.
Lalu bagaimana kepastian hukum untuk masyarakat hukum adat? menurut Dr. Nur, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat harusnya telah selesai dilaksanakan jauh-jauh sebelumnya, karena dari sekian persen Undang-Undang agraria lahir dari pada hukum adat.
“Undang-undang agraria itu lahir dari aturan-aturan adat. Nah sekarang ini selalu diguyonkan dan selalu diungkap di media perlindungan tanah ulayat, presiden pun menyampaikan itu tidak boleh diganggu gugat, pemerintah dan DPR pun selalu itu disampaikan tapi tidak diundangkan. Untuk menguatkan tanah adat itu maka harus ada peraturan daerah, peraturan perundang-undangan bingkainya adalah perda itu yang bisa menguatkan, nah perda adat pun juga masih dilemahkan oleh pemerintah-pemerintah di atasnya kan ini problem,” tambahnya
Baca Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Kembali Gugat PT Londsum
Lanjut Dia menegaskan “Makanya saya sampaikan kalau memang itu finalisasinya ada perlindungan terhadap tanah adat, ya tidak usah dirancang-rancang lama-lama dan memang harus. Karena hampir komplik persoalan-persoalan tanah di Indonesia kan dari adat, misalnya di Papua tanah adat tanah ulayatnya diambil secara paksa, perusahaan tiba-tiba ada, HGU tiba tiba lahir dan semua ini tidak mempertimbangkan soal leluhur adat itu nenek moyang itu,” kata Dr. Nur kepada media ini.
“Nah ini yang perlu saya sampaikan bahwa sangat disayangkan di akhir akhir periode DPR ini kerjasama dengan pemerintah kemudian itu baru dirancang lagi, nanti tidak tuntas lagi, selesai pemilihan legislatif legislatif baru tidak lagi meng acc, semua terus dan ini dari tahun ke tahun dari periode ke periode dan ini terus yang ada,” tutupnya. (*)