Menambah ilmu dan keterampilannya, banyak anggota masyarakat awan butuh informasi ilmiah dalam bentuk tulisan populer yang mudah dipahami lewat media online atau pun media offline.Sayangnya, tak sedikit akademisi dan dosen yang tidak bisa penuhi kebutuhan itu karena mengikuti budaya ‘academese’, honornya kecil sebanding dengan angka kreditnya yang hanya 1 kredit. Padahal penyebarluasan hasil studi ilmiah yang diformat populer membantu program peningkatan SDM unggul pemerintah
m asih ingat kisah Chaerul asal Kabupaten Pinrang,Sulawesi-Selatan yang vidionya sempat viral di medsos?. Montir ini membuat helikopter yang kemudian mampu terbang dalam tahab uji pada 2019. “Wow, hebat”, komentar ratusan netizen.
Chaerul mengaku dirinya belajar merakit helikopternya di kanal YouTube. Tidak belajar dari karya ilmiah. Dia cerdas dan kreatif karena petunjuk teknis dari kanal youtube.
Dewanti Amalia Artasari (28) membeberkan cerita yang nyaris sama dari sisi esensi. Wanita ini ahli membuat anyaman ‘macrame’ (kerajinan anyaman benang untuk dekorasi rumah).
Produknya dijual di tokopedia.com laris manis. Pada Agustus 2020 Dewanti sudah memiliki 30 karyawan. Omsetnya puluhan juta per bulan.
Awalnya dia sama sekali tidak memiliki keterampilan, tetapi dia kemudian belajar secara mandiri melalui kanal video streaming mengenai cara membuat macramé, tulis bisnis.com (15/08/2020).
Banyak orang menjadi pandai dan sukses meraih fulus karena belajar melalui media massa. Orang-orang sukses ini bisa dengan mudah menimba ilmu dan keterampilan (Ilketera) di media massa karena pembuat konten tidak pelit membagikan ilketera-nya di media yang bisa diakses semua orang.
Di samping itu, gaya bahasa yang digunakan populer; padat, jelas, akrab di telinga kalangan awam, dan mudah dipahami. Transfer ilmu dan keterampilan berlangsung tanpa kendala karena bahasanya nyambung. Narasinya membumi.
Dosen “Pelit” Bagi Ilmu
Persoalan yang diungkapkan oleh Ahmad Junaidi hanya mupakan penegasan kembali pikiran dan kecemasan mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, Prof Edy Suandi Hamid.
Dikutip Ahmad Junaedi dalam theconversation.com (17/06/2021), Edy mengatakan, penyebarluasan sains yang lemah ini merupakan “pemborosan besar hasil riset” di Indonesia.
Ahmad Junaidi melihat tiga faktor utama para dosen atau akademisi melakukan “pemborosan hasil riset” (baca: sulit membagi ilmu di media massa). Pertama tidak memiliki waktu menulis untuk media massa.
Kedua, pemerintah lemah dalam mendorong akademisi menulis artikel ilmiah populer di media massa. Ini nampak dari angka kredit (AK) yang diberikan hanya 1 kredit, jauh di bawah AK untuk karya tulis yang dimuat pada jurnal ilmiah,yakni 21 kredit.
Ketiga, reward sebesar 8 juta rupiah diperoleh dosen (akademisi) dari panitia penyelenggara konferensi akademik untuk karya ilmiahnya. Sementara reward seperti itu tidak diperoleh dari
pengelola media massa, utamanya media massa online.
Masalah lain yang dilihat Junaidi adalah bahasa yang digunakan akademisi pada karya ilmiahnya. Cenderung ‘academase’; padat istilah teknis, panjang lebar, sehingga sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Kata lain, bahasanya tidak nyambung ke otak warga awam (biasa).
Efeknya, masyarakat awam tetap dalam ‘kegelapan”.Miskin ilmu dan keterampilan yang terkini.Buntutnya terbelakang dalam IPTEK dan ekonomi bisnis alias miskin. Hanya gegara ilmuan doyan tampil secara ‘academese’ yang menaruh kesan “pelit ilmu”.
Jika RI ingin tampil kuat dan disegani di dunia pada 2045 karena ketinggian IPTEK-nya, mulai saat ini budaya ‘academese’ dienyahkan. Pemerintah jangan medit memberikan AK kepada dosen penulis di media massa.
Atau para kademisi membangun kerjasama dengan semua media massa tanpa melihat nilai reward dalam bentuk uang dan AK karena motivasi utamanya pencedasan anak-anak bangsa. Jadilah pahlawan bangsa di dunia IPTEK yang kian kompetitif (*)