Tidak tertutup kemungkinan hibah ini akan mempengaruhi kinerja kejaksaan terhadap si pemberi hibah sehingga itu patut disayangkan, kata Anggota Komisi III DPR RI Romo H.R Muhammad
jaksa adalah manusia yang diberi tugas oleh rakyat menutut pelaku kejahatan yang merugikan korban. Jika tugasnya berjalan efektif, kedamaian hidup – karena tegaknya hukum dan keadilan – sebagi tujuan hukum terpenuhi.
Dari situ lahir azas hukum, bahwa jaksa sebagai petugas negara harus bebas dari tekanan siapa pun.Sekali lagi, semata-mata demi mencapai tujuan hukum tadi.
Tetapi kerap terjadi hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.Tegasnya, oknum jaksa melindungi pelaku kejahatan.Membela dengan memberikan pasal dengan ancaman hukuman sangat ringan atau menghentikan penuntutan dengan beragam dalih.
Sejak memegang ijasah Strata Satu (S1) dari Fakultas Hukum UKI Paulus, 1989, sampai hari ini, penulis mengamati prilaku jaksa di Indonesia.
Kesimpulannya, hukum tumpul ke atas karena oknum-oknum jaksa masuk angin. Makan sogok.Atau karena takut jabatan dicopot, pangkat diturunkan oleh atasan karena adanya tekanan ekseternal yang dahsyat.
Menuai sorotan
Pembangunan gedung kantor Kejaksaan Negeri Makassar yang masih berlangsung pengerjaannya saat ini menuai sorotan berturut-turut. Pertama sorotan dari lembaga Anti Corruption Committee (ACC).Kemudian datang dari LSM Perak.
Sorotan teranyar dikemukakan oleh Anggota Komis III DPR RI Romo H.R Muhammad. Ada apa ?.
Sorotan tajam muncul karena satu alasan mendasar : dana pembangunan gedung kantor Kejaksaan Negeri Makassar sebesar Rp.33 miiar menggunakan dana hibah dari Pemerintah Kota Makassar.
Itu dipandang sebagai suatu kejanggalan karena banyak gedung sekolah, kantor kelurahan dan kecamatan dalam kondisi rusak dan berdiri di atas lahan milik orang lain. Mestinya dana itu digunakan pemkot untuk mengatasi problem internalnya. Bukan disalurkan ke lembaga negara lain yang notabene memliki anggaran sendiri.
Bisa dipahami langkah oknum pejabat Pemkot Makassar yang rada melenceng itu meninggalkan kesan kuat di benak kelompok kritis bahwa “Ada sesuatu yang besar yang diincar di balik hibah Rp.33 miliar”.
Dengan nilai hibah sebesar itu, harapannya, oknum pejabat di Kejaksaan Negeri Makassar membalas kebaikan berupa perlindungan hukum dalam segala bentuknya.
“Kami yakin, ada kekuatan kuat yang membuat kenapa anggaran ini mengalir ke Kejaksaan Negeri Makassar”, kata Koordinator Divisi Hukum Dan Pelaporan LSM Perak Sulawesi-Selatan, Burhan Salewangang pada indotimpost.site, Sabtu (10/07/2021) pukul.15.346 Wit.
Sejatinya posisi Pemkot Makassar hanya sebagai fasilitator penyediaan lahan misalnnya melalui pembelian, pemberian hibah atau tukar guling (ruislag) kepada Kejaksaan Negeri Makassar. Model ini berlaku umum dan aman untuk semua pihak.
“Sebenarnya yang biasa terjadi itu, penyiapan lahan, karena alokasi lahan tanah itu kewenangannya kepala daerah. Jadi bisa melalui pembelian, sering juga melalui pemberian hibah. Itu terjadi tidak hanya di Kejaksaan, melainkan juga di instansi pemerintahan yang lain,” ujar Romo Syafi’i kepada rakyatdotnews, Selasa (02/11/2021).
Romo melanjutkan, menggunakan APBD Hibah agak janggal dan dapat mempengaruhi independensi Kejaksaan. Kalau memberikan hibah 100 persen untuk pembangunan gedung kejaksaan, itu agak janggal. Karena jaksa sebagai wakil negara, menjadi penuntut umum di pengadilan, itu kan harus bebas, harus independen.
Sehingga menurutunya tidak tertutup kemungkinan hibah ini akan mempengaruhi kinerja kejaksaan terhadap si pemberi hibah sehingga itu patut disayangkan, katanya seperti ditulis rakyat.news (02/11/2021).
Pertanyaannya kemudian, benarkah ada deal-deal haram antara penerima hibah dan pemberi hibah ?.
Kejaksaan harus bersih dari tmafia peradilan. Kejaksaan harus merdeka dari tekanan siapa pun. Kalau tidak bersih, tidak independen alias memihak, bahaya!. Maka dari itu LSM, Lembaga Anti Korupsi dan Anggota DPR harus mencari tahu duduk soalnya sehingga rakyat banyak tidak dirugikan.
“Kami akan terus mengawal pembangunan Gedung Kantor Kejaksaan Negeri Makassar”, kata Burhan Salewangang. Matap.(*)