Liputantimur.com | manggarai -Berbagai regulasi yang diberlakukan justru sering kali tidak berpihak pada kepentingan peserta didik maupun para lulusan perguruan tinggi. Ironisnya, banyak sarjana yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi dengan penuh perjuangan, namun masih terjebak dalam jeratan pengangguran karena minimnya lapangan pekerjaan yang relevan dan sesuai dengan kompetensi mereka. Realitas ini mencerminkan adanya ketimpangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan riil pasar kerja, seolah memperlihatkan bahwa pemerintah bersikap pasif, bahkan acuh tak acuh, terhadap persoalan mendasar tersebut. Kamis, (10/04/2025).
Alih-alih menciptakan solusi yang mampu menjawab tantangan zaman, kebijakan-kebijakan yang ada justru mempersempit ruang gerak generasi muda untuk tumbuh, berinovasi, dan menjadi mandiri. Sistem pendidikan yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan justru menjelma menjadi sistem yang mengekang, membatasi kreativitas, dan memupus harapan. Mereka yang mestinya menjadi motor penggerak kemajuan bangsa malah terkungkung dalam lingkaran sistemik yang tidak memberikan jalan keluar. Jika situasi ini terus dibiarkan tanpa adanya evaluasi mendalam dan perbaikan yang menyeluruh, maka masa depan bangsa—dalam hal mencetak sumber daya manusia yang unggul, berdaya saing, dan adaptif—akan semakin terancam.
Lalu, di manakah letak kepedulian pemerintah terhadap anak bangsa, khususnya para sarjana pendidikan yang semakin tersisih? Mereka telah menempuh perjalanan panjang di dunia akademik dengan penuh dedikasi, pengorbanan, dan harapan. Namun, setelah lulus, yang mereka hadapi bukanlah pintu kesempatan, melainkan tembok penghalang yang tinggi dan tebal. Ribuan lulusan pendidikan terperangkap dalam lingkaran pengangguran struktural—bukan karena rendahnya kualitas, tetapi karena sempitnya akses dan kaku serta tidak relevannya kebijakan yang diterapkan.
Membangun ekosistem yang mendukung pertumbuhan intelektual dan menciptakan peluang kerja baru, kebijakan pendidikan yang ada cenderung menjadi beban tambahan. Regulasi yang diterapkan seringkali jauh dari realita di lapangan, lahir dari proses birokrasi yang tidak partisipatif dan minim dialog dengan pelaku pendidikan. Dunia pendidikan pun akhirnya hanya menjadi formalitas administratif yang kehilangan arah dan tujuan hakikinya: membentuk manusia merdeka yang berpikir kritis, kreatif, dan mampu membawa perubahan.
Sudah saatnya pemerintah membuka mata, membuka hati, dan membuka ruang dialog yang nyata. Pendidikan tidak boleh lagi sekadar menjadi wacana politik atau komoditas ekonomi semata. Kebijakan harus lahir dari pemahaman mendalam atas kebutuhan masyarakat dan tantangan zaman yang terus berubah. Indonesia membutuhkan kebijakan pendidikan yang progresif, inklusif, dan berorientasi pada pemberdayaan manusia seutuhnya.
Hari ini tidak akan pernah benar-benar maju jika potensi anak mudanya terus dibelenggu oleh sistem yang kaku, tidak relevan, dan gagal memberi masa depan. Pendidikan harus menjadi jalan pembebasan, pemberdayaan, dan harapan. Bukan sekadar gelar, bukan sekadar rutinitas, tetapi jembatan menuju masa depan yang lebih cerah dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Coba kita tengok kembali sejarah — bahwa lahirnya suatu bangsa yang adil, merdeka, dan bermartabat tidak pernah terwujud secara instan. Ia dibangun dari proses panjang yang penuh perjuangan, darah, air mata, serta pengorbanan tanpa pamrih dari para pejuang terdahulu. Mereka berjuang bukan demi kekuasaan atau jabatan, melainkan demi masa depan yang lebih baik bagi generasi penerus.
Oleh karena itu, janganlah kita hanya menikmati hasil dari kemerdekaan yang diperjuangkan dengan nyawa, sementara kita melupakan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasinya. Jangan hanya mengisi kemerdekaan dengan kebijakan yang jauh dari nurani dan tidak berpihak pada rakyat. Jangan bersembunyi di balik meja kekuasaan, lalu berpura-pura tidak mendengar jeritan rakyat yang terpinggirkan.
Bangsa ini dibangun atas semangat kebersamaan, pengorbanan, dan keinginan kuat untuk keluar dari belenggu ketidakadilan. Namun, hari ini kita menyaksikan nilai-nilai itu perlahan tergerus oleh sistem yang lebih mementingkan kepentingan elit daripada suara masyarakat bawah. Kebijakan disusun tanpa partisipasi publik, keputusan diambil tanpa mempertimbangkan kenyataan di lapangan, dan regulasi diterapkan tanpa sentuhan kemanusiaan.
Lulusan pendidikan yang menganggur bukan sekadar angka statistik — mereka adalah wajah-wajah kecewa anak bangsa yang telah kehilangan harapan. Buruh yang turun ke jalan bukan sekadar pengganggu ketertiban, tapi cermin dari sistem yang pincang. Petani yang kesulitan bertahan hidup bukan sekadar korban zaman, melainkan tanda bahwa keadilan belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Pemerintah seharusnya hadir sebagai perwujudan kepedulian, bukan sekadar sebagai pengatur. Kekuasaan adalah amanah, bukan keuntungan. Kebijakan adalah tanggung jawab moral, bukan sekadar kewajiban administratif. Negara tidak boleh menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyatnya. Sebaliknya, negara harus menjadi pelindung, penyambung harapan, dan pengayom seluruh anak bangsa.
Kini saatnya kita tidak hanya mengenang sejarah, tetapi menjadikannya sebagai cermin dan pedoman. Bangsa ini tidak boleh kehilangan arah karena terseret oleh kepentingan sempit. Kita membutuhkan keberanian moral, kejujuran intelektual, dan empati sosial dari mereka yang diberi kepercayaan untuk memimpin.
Sebab keadilan bukanlah hadiah yang diberikan dari atas, melainkan hak yang harus ditegakkan bersama. Dan bangsa yang besar bukan hanya dilihat dari kekuatan ekonomi atau infrastruktur megah, melainkan dari sejauh mana ia peduli, hadir, dan berpihak kepada rakyatnya—terutama mereka yang paling lemah, paling sunyi, dan paling sering diabaikan.
Penulis : Nobertus Patut