Ketika pertumbuhan ekonomi RI pada triwulan III-2022 (Juli-September) melesat hingga 5,72 persen, tertinggi diantara negara-negara G-20,angka kemiskinan di saat yang sama justeru meningkat dari 9,5 persen (Maret 2022) menjadi 9,57 persen (September 2022).
Oleh : Agnes Theodora
Ada sebuah perumpamaan ekonomi yang berbunyi : berikan seekor kuda makanan yang banyak, supaya remah-remahnya jatuh ke jalan dan dimakan oleh burung gereja. Gagasan itu dikenal dengan “teori kuda dan burung gereja” yang disampaikan oleh ekonom John Kenneth Galbraith saat krisis ekonomi di era 1890-an alias The Panic of 1896 di Amerika Serikat.
Metafora kuda dan burung gereja itu adalah sindiran terhadap kebijakan ekonomi yang terlalu ramah pada pemilik modal dan korporasi besar dengan harapan berbagai fasilitas dan kemudahan untuk para elite itu dapat membantu menggerakkan ekonomi dan ikut mensejahterakan masyarakat.
Golbraith sejak awal menilai, ekonomi kuda dan burung gereja gagal mencapai tujuannya, bahkan ikut memicu depresi ekonomi kala itu. Meski demikian, dalam sejarah peradaban, paham serupa tetap muncul dan dikenal dengan sebutan lain : “trickle down effect”.
Konsep itu meyakini dalam ekonomi pasar bebas, keuntungan ekonomi dan kekayaan segelintir elite akan menetes ke masyarakat dan lapisan terbawah.
Penggunaan istilah trickle -down atau “tetesan ekonomi” kian populer di masa pemerintahan Presiden AS Ronald Reagen dan Perdana Menteri Margareth Teacer. Namun asal muasalnya diduga dari guyonan komedian Will Rogers saat menyindir kebijakan Presiden AS Herbert Hoover di kala krisis The Great Depression pada era 1920-an.
Roger saat itu berujar, uang sengaja disisihkan untuk mereka yang di atas dengan harapan bisa menetes ke orang miskin. Presiden Hoover seorang insinyur, ia paham air menetes ke bawah, tetapi dia tidak tahu bahwa uang menetesnya ke atas. Coba saja berikan uang ke orang miskin. Sebelum malam tiba, uang itu akan tetap berakhir di tangan orang kaya.
Paparan data profil kemiskinan di Indonesia yang awal pekan ini dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan akan ironi itu. Ketika pertumbuhan ekonomi RI pada triwulan III-2022 (Juli-September) melesat hingga 5,72 persen, tertinggi diantara negara-negara G-20, angka kemiskinan di saat yang sama justeru meningkat dari 9,5 persen (Maret 2022) menjadi 9,57 persen (September 2022).
“Durian runtuh” berkat kenaikan harga komoditas yang mendorong tingginya kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun hanya dinikmati segelintir kalangan, seperti korporasi besar dan tengkulak. Sementara kelompok petani hidup pas-pasan dan jatuh miskin.
Penduduk rentan yang hidup di sekitar garis kemiskinan kerap terdampak oleh kebijakan bernuansa trickle-down, seperti penetapan kenaikan upah minimum di bawah inflasi yang menggerus daya beli. BPS mencatat, hampir semua provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi nasional memiliki tingkat upah rendah.
Banyak kajian yang telah mengkritisi kebijakan trickle-down, mengecapnya sebagai mitos yang hanya indah secara teori. Kritik keras juga datang dari Dana Moneter Internasional (IMF) dalam penelitian “Causes and Consequenses of Income Inequality: A Global Perspective” pada 2015.
Laporan itu menyoroti, jika kekayaan kelompok 20 persen teratas naik 1 persen pertumbuhan ekonomi suatu negara akan melambat 0,08 persen dalam lima tahun ke depan. Sebaliknya, jika pendapat 20 persen kelompok terbawah naik 1 persen, ekonomi akan tumbuh 0,38 persen.
Lepas dari berbagai ironi di atas mitos kuda dan burung gereja terus diadopsi banyak negara.Indonesia tidak luput dari itu.Cotoh paling nyata adalah polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja untuk menjawab vonis cacat formal Mahkamah Konstitusi atas UU sebelumnya.
Di tengah kritik berbagai elemen, regulasi yang dinilai berpihak pada pemodal dan menggerus hak pekerja itu dikeluarkan dengan dalih kepentingan ekonomi yang memaksa.
Seperti kata Pelapor Khusus PBB Bidang Kemiskinan Ekstrem dan Hak Asasi Manusia Philip Alston, poverty is a political choice. Kemiskinan adalah buah dari pilihan politik, bukan keniscayaan.Pilihan mana yang mau kita ambil, apakah terus menerus menyuapi segelintir kuda atau lebih serius berpihak kepada segerombolan burung gereja, ada di tangan pemerintah (*).
Sumber: Harian Kompas