Liputantimur.com, Sulut – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) menemukan adanya pelanggaran hukum saat berlangsungnya pengosongan atau eksekusi lahan milik warga petani Desa Kalasey II, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, pada 07 November 2022 lalu.
Komnas HAM melalui surat 932/PM.00/R/VIII/2023 yang ditujukan kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Kepala Kepolisian Resort Kota (Kapolresta) Manado, menyebutkan kalau ketiga institusi itu telah melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, diantaranya hak-hak mendapatkan pemenuhan dasar.
Dalam rilisnya setebal sembilan halaman itu, Komnas HAM menyebutkan kalau Menparekraf, Gubernur Sulut dan Kapolresta Manado, telah melakukan pelanggaran terhadap manusia atau orang untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan atau pekerjaan.
Rekomendasi yang diterima Frank T Kahiking dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado selaku kuasa hukum warga menyebutkan, penguasaan lahan tanpa prosedural telah menimbulkan rasa ketakutan dan trauma warga, akibat dampak dari penggusuran, pengosongan lahan secara paksa tanpa adanya kompensasi yang berkeadilan, serta pembatasan akses dan ketersediaan atas tempat tinggal.
Terkait peristiwa itu, Komnas HAM berkesimpulan ketiganya telah memosisikan masyarakat sebagai pihak yang tidak dihormati atas hak kepemilikannya menolak tanah untuk digunakan demi kepentingan hukum.
Berkaca dari sejumlah kasus penggusuran atas nama klaim tanah negara untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan umum, Komnas HAM berkesimpulan seringkali dibarengi pelanggaran terhadap hak masyarakat mendapatkan kompensasi yang layak.
Imbasnya masyarakat yang tergusur tidak dapat mengajukan hak atas kompensasi layak, akibat hasil penilaian oleh appraisal yang tak adil atau objektif, lantaran proses administrasi hukum sering menyulitkan.
Disebutkan juga kalau masyarakat pada masalah-masalah tersebut kerap tidak diperbolehkan mengajukan besaran kompensasi yang layak, meski garapan terhadap lahan telah menyita waktu selama puluhan tahun.
Berdasarkan akibat dari peristiwa tersebut Komnas HAM RI pun menyatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut telah melakukan pelanggaran hak atas kesejahteraan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang HAM, dimana tidak diberikannya ganti rugi layak terhadap tanaman yang dimanfaatkan Warga Kalasey II, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, sebagai sumber penghasilan mereka setiap harinya.
Dasar-dasar temuan itulah Komnas HAM RI merekomendasikan kepada Menparekraf untuk berkoordinasi dengan Pemprov Sulut terkait pembangunan gedung Politeknik Pariwisata (Poltekpar) yang didirikan di Desa Kalasey II.
Selain itu disebutkan, Menparekraf wajib melakukan sosialisasi, membuka ruang dialog seluas-luasnya, menyediakan lapangan kerja sebagai pengganti pekerjaan, menyediakan akses pendidikan serta melibatkan warga Desa Kalasey II dalam program-program pengembangan pariwisata.
Sedangkan kepada Gubernur Sulut, Komnas HAM RI menekankan untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan Poltekpar disertai upaya memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena dampak, sehingga kegiatan sosial ekonominya tidak mengalami kemunduran.
Kecuali itu, Pemprov Sulut wajib memperhatikan azas kesepakatan antara masyarakat dengan pihak berkepentingan melakukan dialog dan musyawarah, diantaranya pemberian kompensasi layak terhadap perkebunan yang sudah ditanami.
Baca Bawas Mahkamah Agung RI Tanggapi Pengaduan OMI Sulsel Terkait Dugaan Eksekusi Lahan
Disebutkan, pemberian kompensasi atau ganti rugi layak bagi warga dapat memulihkan kondisi sosial dan ekonomi, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun nonfisik, serta memberikan pekerjaan sebagai pengganti atas pekerjaan warga yang berkebun.
Sementara Kepada Polresta Manado, Komnas HAM mewajibkan upaya persuasif pengamanan lahan, menerapkan prinsip-prinsip Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Nomor 8 Tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), disamping menjamin situasi tetap kondusif, bersikap netral dan berperan sebagai pelindung bagi semua pihak. (arthur mumu)