Liputantimur.com | SURABAYA – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) MAKI Jatim Terima Pengaduan Warga Terkait Surat ljo yang dikandaskan Pemerintah Kota Surabaya, Warga juga mendesak Pemerintah Kota Surabaya Tunduk pada UU UUPA 1960.
Polemik kepemilikan lahan surat ijo di Kota Surabaya kembali mencuat. Warga pemegang surat ijo berkali-kali mendesak Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya untuk tunduk pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, yang secara tegas mengatur hak-hak atas tanah di Indonesia.
Heru Satriyo Ketua Masyarakat Anti Korupsi menghadiri undangan tersebut di Aula RW 2 Bratajaya pada Hari Jumat (13/9/2024).
Dalam pandangan warga, mereka tidak mendapatkan hak yang jelas atas tanah yang mereka tempati, meski seharusnya Pemkot Surabaya mengikuti aturan nasional.
Warga Ngagel Barata Jaya Surabaya secara resmi mengadukan permasalahan surat ijo yang menelantarkan sejumlah warga ke LSM MAKI Jatim.
Heru Satriyo, selaku Ketua MAKI Jatim mengungkapkan bahwa banyak warga pemegang surat ijo merasa dirugikan oleh kebijakan Pemerintah Kota Surabaya yang dianggap tidak jelas dalam menangani administrasi lahan tersebut.
Dalam pertemuan dengan perwakilan warga Ngagel Barata Jaya, Heru menjelaskan bahwa Maki telah mempelajari secara detail masalah yang disampaikan warga surat IJO.
“Kami melihat sangat detail sekali penjelasan dari beberapa perwakilan warga mengenai masalah administrasi surat ijo,” ujar Heru.
Maki Jatim, telah mendapatkan Dalam pengaduan warga ini, akan segera membawa aduan ini ke rapat internal pengurus untuk menentukan langkah selanjutnya.
“Kami akan membawa ini ke rapat pengurus internal Maki Jatim dan akan dikeluarkan surat tugas khusus untuk tim yang akan meneliti lebih dalam sesuai data yang sudah masuk,” jelasnya.
Heru, juga menilai ada indikasi korupsi yang besar dalam permasalahan ini dan berjanji akan terus berkoordinasi dengan pusat guna memperjuangkan hak-hak warga pemegang surat ijo.
“Melalui pusat, kami lebih memahami langkah yang harus diambil untuk memperjuangkan hak warga pemegang surat ijo,” tambahnya.
Lebih lanjut, Heru mengusulkan referendum sebagai alternatif pemilihan kepala daerah jika lebih dari 50 persen warga Surabaya merupakan pemegang surat ijo. Menurutnya, masalah ini memiliki potensi menjadi isu politik yang signifikan.
“Kami siap mendukung perjuangan warga yang menjadi korban dari ketidakjelasan kebijakan terkait surat ijo dari Pemkot Surabaya,” pungkas.
Sementara Josua selaku perwakilan warga mengatakan, Kota Surabaya, bukan negara kota. Artinya, Pemkot Surabaya harus tunduk pada undang-undang Republik Indonesia, termasuk soal hak atas tanah sesuai UUPA 1960,” ujarnya.
Warga juga menilai bahwa kebijakan Pemkot Surabaya yang selama ini berlaku tidak memberikan kejelasan terkait hak atas tanah.
Mereka berharap Presiden Joko Widodo dan jajaran menteri terkait turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini dengan mengeluarkan regulasi yang lebih jelas, baik melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) atau kebijakan lain yang memberikan kepastian hukum.
Josua menyampaikan bahwa jika tanah tersebut memang aset milik Pemkot Surabaya, warga tidak akan meminta lebih. Namun, jika lahan tersebut bukan milik Pemkot, mereka berharap agar tanah dikembalikan kepada warga yang berhak.
“Kami hanya meminta keadilan. Jika tanah tersebut milik warga, kembalikanlah haknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” tutup Josua
(Redho)