Liputantimur.com, Sulsel – Berbasis pada hukum internasional dan hukum nasional tentang Hak Masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri hingga diperluas sampai ke semua Masyarakat lokal dengan hubungan historis atas adat, tanah dan sumber daya yang mereka gunakan.
Masyarakat adat sendiri sesuai status hukum yang diperkuat dengan adopsi dari Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat atau United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) pada tahun 2008 melahirkan sebuah kesepakatan yakni Free, Prior and Informed Consent” (FPIC) sehingga Masyarakat adat berhak untuk mengatakan “ya, dan bagaimana” atau “tidak” untuk menentukan pembangunan yang dapat mempengaruhi sumber daya dalam wilayah mereka.
Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan atau Free Prior Informed Consent (FPIC) adalah bagian penting dalam konsultasi bersama Masyarakat adat setempat, dimana kegiatan operasional perkebunan ataupun pembangunan lain dilaksanakan di wilayah Adat.
Selain itu, Hak Ulayat Masyarakat adat berdasarkan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat adat dan hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.
Kendatipun hak atas hutan adat yang sebelumnya diklaim UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan dimana hutan adat merupakan hutan Negara tersebut sehingga melahirkan sejumlah polemik dari tumpang tindih antara hutan adat dan hutan negara.
Klaim tersebut justru Masyarakat adat dan hukum adat sering kali mengalami diskriminasi dan kriminalisasi atas hak Ulayatnya hal tersebut sehingga dilakukan yudisial review atas UU No 41/1999 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga lahirlah putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dengan itu ditegaskan bahwa hutan adat berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara.
Melalui Putusan MK 35/PUU-X/2012. Masyarakat adat kembali mendorong Peraturan Daerah (Perda) melalui Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA)
Sebagimana perjuangan masyarakat adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dalam mendorong Pengakuan dan Perlindungan atas hak-haknya melalui Peraturan Daerah (Perda) yakni Perda Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang.
Keberadaan Perda tersebut diharapkan mampu mendorong penyelesaian konflik sengketa tanah Masyarakat adat Amatoa Kajang dengan PT. Londong Sumatra (Londsum) yang belum mendapatkan titik terang.
Hal tersebut masyarakat adat Ammatoa Kajang melalui kuasa hukumnya kembali menggugat PT Londsum terkait sengketa tanah adatnya
Kasus ini kemudian ditangani oleh Advokat, Doktor Muhammad Nur SH., MH., Sebagai Direktur LAW FIRM DR Muhammad Nur SH., MH & Associates yang juga sebagai Pendiri Badan Advokasi dan Investigasi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (BAIN HAM RI), Kantor Citra Lend Celebes Blog I No 3536, Jalan Tun Abdul Razak, Gowa-Makassar.
Baca juga:LSM GMBI Sul-Sel Tuntut PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Pancaran Gemilang Abadi
Dari upaya kuasa hukum melakukan mediasi dilakukan baik persuasif ataupun persuratan ke pihak terkait namun belum mendapatkan kepastian dengan itu bersama Masyarakat adat Ammatoa Kajang, Kuasa hukum mengelar konferensi pers di Ruang rapat Persatuan Advokat Muslim Indonesia (PERADMI) LAW FIRM DR Muhammad Nur SH., MH & Associates, Kamis 03 Maret 2022 yang di pimpin langsung oleh DR Muhammad Nur.
Dalam konferensi pers, DR Muhammad Nur mengungkapkan bahwa ini telah dilakukan upaya persuasif dan persuratan namun mengalami jalan buntu lantaran tidak ada titik terang atau respon dari pihak terkait.
“Langkah persuasif sudah kami tempuh dengan upaya persuratan namun mengalami jalan buntu atau tidak ada titik terang dari pemerintah” ucapnya.
Ia menyambungkan “Harusnya ada jawaban atau ada langkah-langkah pemerintah untuk mempertemukan kami dengan pihak Londsum” bebernya
Menurutnya, berdasarkan hasil investigasi secara administrasi pihak PT Londsum menguasai tanah sekitar 5000an hektar namun secara indikasi dari 4 Kecamatan tersebut PT Londsum menguasai sekitar belasan ribu hektar.
“Dari hasil investigasi pihak Londsum menguasai lahan secara administrasi seluas 5784, 45 hektar, namun ada indikasi kuat diluar dari pada itu bahwa yang dikuasai sebenarnya oleh PT londsum -+ 11000 hektar dan itu terdiri dari 4 Kecamatan,” jelasnya
Ia pun menegaskan “Saya sebagai Kuasa hukum yang beri amanah dari masyarakat adat kajang maka kami berharap jangan ada coba-coba pemerintah daerah, Bupati, BPN untuk memberikan ruang kepada mereka untuk perpanjangan izin, Kalau itu terjadi maka kami akan lakukan upaya hukum dan kami akan tidak main-main,” tegasnya.
Menurut DR Muhammad Nur bahwa masyarakat adat kajang sudah lama menderita dalam menuntut haknya, maka waktunya PT Londsum Hengkang dari wilayah adat Masyarakat Ammatoa Kajang.
“Kalau dia masih ada di tanah wilayah tertentu dengan luasan wilayah yang begitu besar tanpa ada dasar hukum yang jelas dan sudah waktunya untuk hengkang dan masih menguasai itu mafia tanah namanya,” ujarnya
Diketahui PT Londsum menguasai tanah masyarakat adat Ammatoa Kajang dari sejak tahun 1919 dan izin tersebut akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2023.
“Dengan itu tidak boleh melakukan peremajaan bahkan melakukan pengerukan pengrusakan tanah adat,” ujarnya
Sementara itu, perwakilan dari masyarakat adat Ammatoa Kajang mengatakan, tanah yang sudah lama dikuasai tersebut segera dikembalikan ke masyarakat adat.
“Inakke Masyarakat adat Kajang inakke perwakilanna Ammatoa, Painroanga tanaku ka mallimmi nualle,” ucapnya dengan dialek bahasa Konjo
Lebih lanjut, Masyarakat Adat Amatoa Kajang juga menjelaskan apa yang disampaikan Ammatoa adalah sebuah harapan besar kepada presideng Republik Indonesia untuk mengembalikan tanah adatnya yang telah lama dikuasai oleh pihak perusahaan.
“Kepada bapak presiden agar segera mengembalikan hak kami yang telah dirampas oleh PT Londsum,” tutup perwakilan masyarakat adat kajang.
Diketahui, masyarakat adat Ammatoa Kajang hanya mengharapkan tanahnya kembali dan tidak mengharapkan uang atau ganti rugi apa pun. (*)