Liputantimur.com, Opini – Hari Buruh menjadi sebuah momentum bagi para buruh menyuarakan keluh kesah serta tuntutan-tuntutanya ke pemerintah maupun ke perusahaan.
Tuntutan itu tidak selalu jauh dari kesejahteraan buruh sendiri, bagaimana supaya perusahaan dalam memberlakukan buruh secara adil dan manusiawi.
Karena memberlakukan buruh secara tidak manusiawi di tengah pemanfaatan tenaga mereka adalah sebuah bentuk pengkerdilan terhadap kaum buruh.
Hari buruh atau May Day yang lebih dikenal secara internasional, diperingati setiap tanggal 1 mei.
Awal mula hari buruh diperingati adalah akibat representasi dari revolusi industri pada tahun 1886 di Amerika Serikat. Pada waktu itu buruh dipaksa bekerja 16 hingga 19 jam sehari di pabrik pabrik.
Saat itu sejumlah sarekat buruh melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut diberlakukannya 8 jam sehari serta kenaikan upah yang layak.
Hingga pada tahun 1889 Konferensi Internasional Sosialis menetapkan 1 mei sebagai peringatan hari buruh internasional, sejak pada saat itu hari buruh diperingati setiap tanggal 1 Mei di seluruh dunia.
Sejarah buruh di Indonesia berbeda dengan sejarah buruh di dunia dalam memperjuangkan hak mereka.
Di Indonesia pada orde baru peringatan hari buruh sempat dilarang oleh presiden Seoharto. Dan kemudian pada tahun 2014 di masa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari buruh ditetapkan menjadi hari libur nasional.
Sejarah buruh di Indonesia juga memiliki sejarah yang kelam, pada tahun 1993 seorang aktivis buruh dinyatakan hilang, dan kemudian ditemukan tidak bernyawa pada masa itu. Tidak diketahui secara pasti alasan pembunuhannya namun beliau dianggap sebagai dalang pemogokan buruh.
Baru-baru ini seluruh elemen seantero negri ramai memperjuangkan hak buruh terkait lahirnya kebijakan Perppu Ciptaker yang dianggap merugikan dan secara perlahan memeras hak buruh.
Bagaimana tidak, di negara Demokrasi seperti ini Indonesia ini tidak lagi mendengar aspirasi dan keinginan Masyarakat banyak. Singkatnya, marwah Demokrasi telah dikebiri oleh para oligarki yang merusak bangsa ini.
Dampaknya, kebijakan yang dilahirkan perlahan mematikan rakyat kelas bawah untuk mendapatkan keadilan.
Di tengah aksi protes dan perlawanan yang terjadi banyak tempat, naasnya Undang-undang Cipta Kerja malah mulai diberlakukan pada tanggal 31 Maret 2023. UU ini menetapkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Hal ini secara konkret merugikan dan meningkatkan kesengsaraan bagi para buruh yang ada di Indonesia.
Seperti aturan soal pesangon dalam Perppu Cipta Kerja yang dipandang cukup merugikan. Pasalnya, kompensasi pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang diterima buruh korban PHK berkurang dibandingkan aturan lama.
Belum lagi sitem upah yang berpotensi menurunkan pendapatan buruh. Sebab berdasarkan aturan tersebut, formula penetapan upah minimum bisa diubah dalam keadaan tertentu.
“Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat 2,” bunyi pasal 88F Perppu Cipta Kerja.
Baca Gaji Minim, THR Tidak Cair : Bagaimana Nasib Pekerja?
Tidak hanya sistem upah, aturan PHK dalam Perppu Cipta Kerja juga berpotensi merugikan buruh. Pasalnya aturan itu memberikan kemudahan kepada perusahaan melakukan PHK termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui penetapan pengadilan.
Di sisi lain sistem pekerjaan alih daya
Perppu Cipta Kerja juga tidak mengatur batasan jenis pekerjaan alih daya atau outsourcing, sama seperti Omnibus Law sebelumnya yang diputus Mahkamah Konstitusi inkonstitusional bersyarat. Ketentuan soal pekerjaan yang dapat dialihdayakan diatur dalam Pasal 64 Perppu tersebut.
Lebih mengerikan terkait TKA dalam Perppu Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi tenaga kerja asing untuk masuk ke semua jenis pekerjaan yang sebenarnya bisa digarap oleh pekerja Indonesia.
Kemudahan juga diberikan pemerintah dengan menghapus kewajiban bisa berbahasa Indonesia bagi pekerja asing yang mau bekerja di republik ini.
Dari beberapa problematika yang dihadapi kaum buruh terlebih di era digitalisasi sekarang ini tentu harus menjadi fokus perhatian seluruh elemen utamanya perintah agar kaum buruh untuk mendapatkan hidup yang layak bagi diri dan keluarganya.
Buruh mengharapkan pemerintah benar benar mewakili suara masyarakat dalam perumusan kebijakan yang mengatur hubungan antara pemodal dengan buruh agar keadilan serta kesejahteraan itu didapatkan semua buruh.
Bekerja adalah pekerjaan yang mulia, tapi jangan sampai hanya menguntungkan beberapa pihak semata. Pemodal dan pengusaha.
Selamat Hari Buruh! Semoga buruh di negri ini adalah buruh yang berkualitas, memiliki kapasitas dan kapabilitas yang terus diupgrade sesuai kebutuhan zaman. Semoga tak sekadar jadi sekrup kapitalisme, tapi jadinya roda yang terus bergerak gilas kezaliman. Buruh juga perlu merdeka.
Penulis : Jalali Wal Ikram
(Ketua BEM FISIP Unismuh Makassar)