Liputantimur.com, Palu – Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Tengah Ulyas Taha mengatakan, ucapan (video) Menag yang viral tidak bermaksud membandingkan suara Azan dengan hal yang lain.
Menanggapi hal itu, Kakanwil meminta agar umat Islam, khususnya di Sulteng tidak mudah terpancing bahkan memperburuk situasi.
“Saudaraku Umat Islam agar tetap menahan diri, jangan terprovokasi apalagi lantang bersuara yang justru akan memperkeruh suasana dan yang lebih sedih lagi akan menimbulkan perpecahan di antara umat Islam sendiri dan akan berdampak hukum yang tidak baik bagi diri kita sendiri” ujarnya.
Menurutnya, terkait Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla, yang diterbitkan 18 Februari 2022 juga tidak mengandung unsur pelarangan azan, seperti yang ditanggapi warganet.
“Aturan tersebut mengatur bagaimana pengeras suara luar dan dalam pada masjid dan musala untuk disesuaikan penggunaannya pada waktu pelaksanaan salat maupun saat melakukan syiar,” ungkapnya melalui whatsapp saat dihubungi sejumlah awak media, Jum’at (25/2/2022).
Bahkan menurutnya, penggunaan pengeras suara untuk masjid, langgar, dan musala sejak dulu telah diatur oleh Kementerian Agama (saat itu Departemen Agama) melalui Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla.
Pengeras suara di masjid dan musala adalah kebutuhan bagi umat Islam serta menjadi sarana syiar di tengah masyarakat. Kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, sehingga, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial, jelasnya.
Kakanwil mencontohkan, dalam edaran itu disebutkan untuk kondisi Salat Jumat, menjelang waktu shalat Jum’at, maka sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur’an atau shalawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit.
Untuk penyampaian pengumuman mengenai petugas Jum’at, hasil infaq sedekah, pelaksanaan Khutbah Jum’at, Salat, zikir, dan doa, menggunakan pengeras suara dalam.
“Hal itu sudah menjadi kebiasaan Kita selama ini, tidak ada perubahan yang signifikan. Olehnya Saya harap Kita perlu membaca aturan dengan seksama jangan sibuk membuat persepsi masing-masing,” ujarnya lagi.
Kakanwil menegaskan bahwa dalam edaran itu yang diatur adalah penggunaan pengeras suara. Dalam edaran juga tertulis, Suara yang dipancarkan melalui Pengeras Suara pun perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya.
Suara yang disiarkan memenuhi persyaratan, bagus atau tidak sumbang dan pelafazan secara baik dan benar, agar masyarakat semakin nyaman dalam melaksanakan ibadah Shalat maupun Syiar Islam.
“Bahkan, volume speaker tidak boleh terlalu kencang, 100 dB maksimal dan tidak terlalu lama, agar tidak membahayakan pendengaran,” pungkasnya. (Ibra/Hms Kemenag)