parpol pemenang pileg berhak mengusung capres dan cawapres. Maka dari itu KPU lebih dulu melaksanakan Pileg. Inilah model pileg dan pilpres yang berlangsung terpisah, tak serentak.
Tetapi model ini beresiko bagi parpol besar pemenang pileg.Sebab ada kemungkinan parpol besar pemenang pemilu sebelumnya mengalami kekalahan dari parpol kecil di pemilu berikutnya.
Bahkan bisa jadi kalah dari parpol pendatang baru dalam perolehan kursi dan suara pemilih nasional.
Tentu saja kekalahan itu tidak memberi tiket megusung capres dan cawapres dalam pilpres yang digelar kemudian .Sirna pula kesempatan kedua menjadi penguasa. Ini pahit. Berbahaya sekaligus memalukan.
Bagi partai besar kekalahan di pileg akan datang tidak boleh terjadi. Mumpung saat ini menang dan memegang kekuasaan di legislatif dan eksekutif , maka sistem yang ada harus diubah.
Jika sebelumnya pileg duluan, belakangan menggelar pilpres.Sekarang kedua pil ini dilaksanakan bersamaan.Pil-pil bersamaan ini popular disebut ‘pemilu serentak’.
Pemilu serentak
Dalam pemilu serentak tidak ada waktu (nihil waktu) yang memisahkan antara pileg dan pilpres seperti pada pemilu tak serentak.
Akibatnya tidak ada data parpol pemenang pileg serentak di tangan KPU yang bisa dijadikan dasar bagi lembaga negara ini menentukan parpol pengusung capres dan cawapres.
Lantaran itu maka dasar bagi KPU menentukan parpol pengusung capres dan cawapres berikutnya ialah hasil pileg sebelumnya.Hal ini dipertegas Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra di Tanjungpinang.
Dia mengatakan, “Syarat mengusung calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024 berdasarkan hasil Pemilu Legislatif 2019”, kutip galamedia.com (1/10/2021).
“Kebijakan itu berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, dan peraturan teknis lainnya”,tambahnya .
Sementara itu, publik mengetahui ada 9 parpol pemenang pemilu legislatif 2019 (lolos dari saringan ambang batas parlementari) , yakni PDIP (27,053 juta), Gerindra (17,5 juta), Golkar (17,2 juta), PKB (913,5juta), Nasdem (12,6juta), PKS (11,4 juta), Demokrat (10,8 juta), PAN (9,5) dan PPP (6,3).
Ada pun 7 parpol lainnya tidak dapat mengusung capres dan cawapres. Ke tujuh parpol dimaksud ialah Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, PBB, Garuda dan PKPI.
Itu karena tujuh parpol ini tidak lolos dari lubang halus bernama ambang batas parlemen (parlementary threshold) dan ambang batas pengusung capres dan cawapres (presidensial threshold).
Wajar karena mereka lemah dari segala aspek, utamanya dari sisi figur pemimpinnya dehingga sistem mendepak mereka dari sentral penentu kebijakan nasional.
Ingin berkuasa selamanya
Esensi demokrasi ialah kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat.Dari sini berlaku asaz semua parpol yang sah dapat mengikuti pemilihan umum dan mengusung capres dan cawapresnya.
Dari situ pula beberapa pihak menilai bahwa ketentuan ambang batas bagi parpol mengusung capres dan cawapres sebesar 15 kursi di DPR dan atau 20 persen perolehan suara sah nasional merupakan aturan yang sangat berat, hanya mengutungkan parpol besar, dan mengkebiri demokrasi.
Terkait hal itu akademisi Rocky Gerung membuat pernyataan menohok kepada parpol besar.
“Saya sebutkan partai PDIP dan Golkar adalah partai pengecut. Udah di depan tapi masih mau minta tambahan energi juga. Padahal sebetulnya publik menganggap mereka itu takut untuk bersaing dari garis start yang sama dari titik nol persen,”ujar Rocky Gerung, dikutip zonapriangan.com (10/12/2021).
Kata lain parpol besar pemenang pileg 2019 cenderung ingin berkuasa selamanya (*)