Di era ini kita menyaksikan apa yang oleh Thomas Mayer, sarjana ilmu politik asal Jerman, disebut identitas mania. Gejala maniak identitas itu, pada perkembangan berikutnya , memicu lahirnya aktor-aktor politik yang secara oportunistik hendak “menumpang” saja (free riding politician). Inilah yang kemudian melahirkan politik populis.
Oleh : Ulil Abshar Abdalla*)
Ada dua pokok soal akan dibahas di sini. Pertama tentang gejala pengutuban atau polarisasi politik yang marak dalam 10 hingga 15 tahun terakhir di negeri ini. Kedua, bagaimana langkah yang harus diambil untuk menghadapi pengutuban itu.
Dalam politik yang terbuka, gejala pengutuban politik mungkin lumrah . Pe gutuban akibat alamiah dari persaingan antar kelompok atau golongan politik yang berbagai-bagai.
Dalam politik yang tertutup, persaingan semacam itu tidak dimungkinkan. Di sana, keragaman politik dalam masyarakat (apa yang dalam ilmu politik disebut political cleavages) tak tercermin di permukaan. di Ia ditekan jauh ke bawah karpet melalui “tangan besi” depresi politik. Dari sana lahir ketenangan dan harmoni, tapi semu. Kita pernah mengalami hal ini dalam rezim Orde Baru dulu.
Sekarang kita memasuki era politik terbuka. Namun, setiap era politik menciptakan komplikasi dan masalahnya sendiri. Tidak ada “firdaus politik” di muka bumi ini. Setiap sistem dan jalan politik yang diambil akan menimbulkan risiko masing -masing. Selalu ada “harga sosial” yang harus dibayar. Kita sebagai bangsa , sudah memilih jalan demokrasi dan politik terbuka. Ini ijmak atau konsensus politik bangsa. Tidak ada lagi political U-turn atau putar balik dari jalan itu, saya kira.
Harga yang harus dibayar ialah Pengutuban sosial politik. Tampaknya pengtuban memang tak terhindarkan dalam politik yang terbuka. Jika kita ingin kembali dalam harmoni semu rezim Orba dulu ,berarti kita kembali kepada politik otoritarian — sesuatu kudu kita hindari. Namun, hal ini tidak berarti kita berserah diri, “tawakkal”, menerima keadaan. Ini tak berarti kita menerima pengutuban politik sebagai fakta yang sudah terjadi begitu saja. Kita mesti menghindari dampak-dampak negatif dari pengutuban politik.
Ada dua jenis Pengutuban politik. Pertama, pengutuban alamiah sebagai akibat dari keragaman aliran dan golongan politik yang de facto ada dalam masyarakat.
Kedua, pengutuban politik yang terjadi karena dinamika sosial-politik tertentu yang menyebabkan keragaman itu justeru berujung pada antagonisme sosial.
Antagonisme terjadi karena pelbagai sebab yang membutuhkan analisis terpisah di luar ruangan ini.
Salah satu sebab yang patut disebut ialah prilaku pragmatik-oportunistik sebagaian aktor politik. Mereka hendak meraup dukungan suara secara gampangan, misalnya dengan memolitisasi keragaman indentitas-identitas sosial yang bersifat partikular. Inilah yang sering disebut politik identitas.
Ikatan-ikatan emosi dalam masyarakat dieksploitasi untuk menciptakan ceruk suara bagi satu dua partai atau tokoh politik tertentu. Dari sana lahirlah antagonisme sosial yang membahayakan. Kita mengalami hal ini sejak lebih kurang 15 tahun terakhir.
Gejala pengutuban politik yang berujung pada antagonisme bukan hal yang khas Indonesia. Ini gejala global. Dalam bentuk yang lebih parah, hal serupa terjadi di Amerika Serikat sekarang.
Berakhirnya perang dingin awal tahun 1990-an memang membawa era baru: maraknya politik berbasis identitas dan ikatan-ikatan emosi yang sempit.
Di era ini kita menyaksikan apa yang oleh Thomas Mayer, sarjana ilmu politik asal Jerman, disebut identitas mania. Gejala maniak identitas itu, pada perkembangan berikutnya , memicu lahirnya aktor-aktor politik yang secara oportunistik hendak “menumpang” saja (free riding politician). Inilah yang kemudian melahirkan politik populis.
Pengutuban politik jenis kedua ini jelas berbahaya. Sebab keragaman identitas tidak diolah untuk memperkokoh integrasi masyarakat melalui proses penyerbuka silang , tetapi dipolitsasi untuk menciptakan ceruk suara yang dapat dikeruk dengan gampang. Aki tanya adalah ancaman disintegrasi sosial.
Ancaman itu begitu nyata akhir-akhir ini karena perkembangan teknologi ditigtal yang melahirkan apa yang disebut media sosial (medsos). Sifat komunikasi yang sangat terbuka dan tanpa proses editing dalam ruang medsos menyebabkan ancaman antagonisme bagitu kuat.
Menghadapi hal semacam ini harus ada rekayasa sosial-politik tertentu untuk menghindarkan antagonisme sosial agar tidak lepas kendali. Salah satu langkah sederhana ialah mengembangkan etika pengendalian diri (the etics of self-restrain) ,terutama di kalangan tokoh, cendikiawan, ulama/kiai, selebritis, dan kalangan-kalangan lain yang secara umum bisa disebut oenengaruh (influencer).
Untuk sementara waktu, kalangan pemengaruh ini, sebaiknya, tidak terlibat dalam politik dukung mendukung dalam pemilu mendatang.
Saya tidak menganjurkan sikap golput. Sama sekali tidak. Belajar dari pengalaman dua pemilu lalu, keterlibatan pemengaruh dalam politik dukung-mendukung dan blok-blokan politik telah memperparah pengutuban di tengah masyarakat.
Diperlukan etik “mengendalikan diri” gun menghambat agar pengutuban ini tidak lepas kendali(*)
*)Ulil Abshar Abdalla adalah seorang cendikiawan Nahdatul Ulama