Opini, Liputantimur.com – bermula pada sebuah bincang-bincang lepas setelah ba’da dzuhur, Selasa 20 September 2022 bertempat di Rumah Andi Marjuni Kahar, Lingkungan Kaluarang, Kelurahan Tassililu, Kecamatan Sinjai Barat.
Perbincangan ini mengurai benang kusut tentang pranata sosial di era kekinian, Ibarat peribahasa ‘Hidup Segan Mati Tak Mau’ dialamatkan kepada sikap masyarakat zaman sekarang terhadap cara pandang dan responnya terhadap adat atau pranata sosial.
Ada ambique yang terjadi di kalangan masyarakat awam, antara apakah menggunakannya atau tidak menggunakannya. apakah melestarikannya, ataukah menolaknya, bahkan menghancurkannya.
Hal inilah yang mendasari penulis menginisiasi pertemuan tersebu melalui prolog disampaikan oleh Andi Marjuni Kahar yang sekaligus sebagai penggagas temu bicara ketika mengawali pertemuan.
Acara ini dimaksud tiada lain adalah untuk menyatukan cara pandang, sikap, dan respon kita terhadap gejolak sosial yang muncul seiring dengan ketidaktahuan kita terhadap jalur nasab dan ketidakpahaman kita terhadap pemberlakuan simbol-simbol sosial yang diklaim sebagai adat istiadat.
Dalam perbincangan itu, turut hadir beberapa elemen keluarga sekaligus sebagai pemerhati Adat di Manipi, diantaranya Karaeng Cahaya yang mewakili keluarga Puantta Toayya, Andi Warda mewakili keluarga Puanta Lombe, Andi Muh. Paris dan Andi Muh. Akib mewakili keluarga Petta Ti’ring, Andi Muin dan Andi Hasnah mewakili keluarga Puanta Lembang Parang, Muh. Arif Bandong mewakili keluarga Puang Pintulung dan Karaeng Kaluarang, serta Makmur mewakili Keluarga Puanta Ritajong.
Hadir pula beberapa pemerhati lainnya misalnya Andi Nurlinda yang mewakili Puanta Riterasa, Andi Amirullah Petta Kula mewakili Puanta Balassuka. Serta pemerhati Budaya lainnya diantaranya Idrus Totte dan Ambe Sattu sebagai Pemangku adat di Lingkungan Kaluarang.
Dalam pertemuan itu diawali dengan pembicaraan mengenai pentingnya mengetahui nasab dan kekerabatan.
Sebab memprihatinkan bahwa keluarga secara lebih besar masyarakat umum banyak yang kurang paham terlebih pengetahuannya tentang nasab dan keturunan.
Dari pertemuan itu dihasilkan kesepakatan untuk membuat suatu sistem dokumen tertulis berupa buku tentang nasab dan silsilah kekeluargaan.
Pada kesempatan itu juga dilakukan pembacaan silsilah yang sumber datanya disiapkan oleh Andi Mustawa yang juga anak dari Andi Ishak penulis stamboom Puatta Datu Halia.
Dibacakan secara runut jenjang demi jenjang tiap-tiap keluarga, setelah itu diskusi dilanjutkan dengan pembicaraan tentang perlunya pemahaman tentang simbol-simbol adat yang dipakai dalam berbagai kegiatan.
Simbol-Simbol adat sebagian besar dipakai dalam melangsung pesta pernikahan, namun masih sering juga dijumpai penggunaan simbol-simbol adat yang salah penempatan dan tidak tepat guna.
Baca juga : Sistem Hukum Indonesia Harus Mempertimbangkan Aspek Budaya
Dengan itu, bincang-bincang adat melahirkan beberapa gagasan, sebagai berikut:
– Perlunya segera dibentuk lembaga adat yang lebih besar dan luas jangkauannya, misalnya ruang lingkup seluruh Manipi, yang selama ini sudah ada, namun masih berskala lingkungan.
– Diperlukan penguatan fungsi dari pemangku adat atau yang berkaitan dengan itu. agar terjadi kedisiplinan dan ketaatan terhadap aturan-aturan yang telah baku.
– Hendaknya segera disusun secara cermat dan ditetapkan dalam bentuk baku, mengenai pranata sosial yang selama ini masih terpakai dalam masyarakat. agar dapat diberlakukan secara nyata dan tepat guna.
– Kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pelestarian budaya khususnya dalam hal penggunaan simbol adat, supaya bekerja lebih cermat dengan mengedepankan keaslian dan menahan diri untuk tidak melakukan infrovisasi, atau melakukan kreasi yang tak berdasar. apalagi penggunaannya yang tidak tepat dan salah sasaran.
– Kepada pihak yang telah diberi wewenang oleh masyarakat sebagai pemangku adat, agar bekerja secara professional dan senantiasa membekali diri dgn terus menambah pengetahuan dan pemahamannya terhadap seluruh aspek yang berkaitan dengan tugasnya.
Poin-poin yang telah diusulkan tersebut akan dijadikan sebagai rekomendasi penting untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah atau pihak-pihak terkait lainnya.
Secara umum diskusi mengerucut pada pentingnya menelusuri dan memahami sisi-sisi kehidupan nenek moyang yang telah melahirkan beberapa karya peradaban khususnya di bidang adat istiadat.
Agak susah menegakkan kembali kejayaan peradaban masa lalu, ibarat menegakkan benang basah, karena terlalu banyak rintangan yang harus kita lewati.
Namun bukan hal yang mustahil, jika kita bersatu padu mengusung dan memperjuangkan kembalinya kearifan lokal menjadi perioritas dalam menata kehidupan bermasyarakat.
Penulis : Andi Siti Rukmini sebagai pemerhati budaya di Manipi