Liputantimur.com, Makassar – Berdasarkan pembukaan UUD 1945 pada Pasal 28 H ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pemenuhan kewajiban itu oleh negara untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman bagi rakyatnya untuk memenuhi hak-hak sipil dan politik (sipol), dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) warga negara.
Dengan itu, pemenuhan atas tempat tinggal yang layak merupakan kewajiban pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) yang diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social, and Cultural Rights.
Namun pada kenyataannya, belum sepenuhnya masyarakat dapat mengakses atau menikmati perumahan/tempat tinggal yang layak tersebut.
Justru sebaliknya, tidak jarang masyarakat menjadi korban terhadap penggusuran oleh pemangku kebijakan demi suatu pembagunan.
Seperti halnya Rumah milik warga Makassar Wati dan dg Ngai yang telah dihuni sekitar 40 tahun yang teletak dipinggirang lahan perkuburan Beroangin, Pannampu, Kelurahan Suangga, Kecamatan Tallo.
Kini rumahnya yang ditinggali sebanyak dua Kepala Keluarga (KK) itu terancam digusur demi proyek pembangunan konstruksi pagar dan Gapura TPU Islam Beroangin.
Dibuktikan adanya surat himbauan pengosongan lahan oleh (Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar.
Hal itu mendapatkan penolakan warga pemilik rumah dan berharap kepada pemerintah untuk memberikan sulusi tempat tinggal yang layak dan berkelanjutan, bukan menggusur.
“Saya kan lahir di rumah ini dan jika mati dikubur di sini, dan saya tidak akan meninggalkan rumah sebab kami mau tinggal di mana?,” kata Wati diamini Daeng Ngai saat ditemui di beranda rumahnya yang terancam digusur tersebut. Rabu (13/12/2023).
Senada dengan itu, Melisa, selaku Pendamping Hukum (PH) Warga yang terancam digusur mengatakan, bahwa rumah yang didiami warga tidak boleh digusur secara sepihak.
Sebab kliennya sudah puluhan tahun tinggal di atas lahan tersebut dan hal itu sesuai Pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR)
“Perlu diketahui bahwa Ibu Wati telah berpuluh – puluh tahun menempati rumahnya. Pihak DLH tidak bisa seenaknya melakukan penggusuran, sebab jika itu dilakukan maka dapat dipastikan DLH telah melakukan pelanggaran hak atas properti dan hak atas tempat tinggal, yang mana tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi serta melanggar Pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR),” tegas Melisa Selaku tim pendamping Hukum Warga terdampak penggusuran demi pembagunan konstruksi pagar perkuburan.
Baca Gelar Aksi Unjuk Rasa, Aliansi SOSPOL Unismuh Makassar ; Kami bersama Masyarakat Rempang
Lanjut Melisa mengungkapkan, bahwa DLH Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar sepatutnya melakukan mediasi ke warga terdampak pembangunan sebelum melayangkan surat himbauan pengosongan lahan.
“Tidak ada upaya mediasi, DLH Pemkot langsung mengeluarkan himbauan mengosongkan lahan, Negara seolah lupa kalau negara juga harus menjamin hak atas tempat tinggal yang layak bagi warganya,” pungkas Melisa.
Catatan. Sampai berita ini diterbitkan, Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Makassar sementara berusaha dikonfirmasi. (Imr)