Jakarta – Arvindo Noviar selaku Ketua Umum Partai Rakyat memiliki toleransi diatas kebanyakan para pembesar parpol lain di republik ini, lantaran sikapnya yang membela kaum syiah dan LGBT bisa hidup berdampingan di Indonesia.
Hal ini di nyatakan dalam statementnya melalui press release yang di berikan para awak media pada Minggu, (2/1/2022) di jakarta.
Menurut pemuda yang saat ini berusia 34 tahun tersebut,selalunya kata “rakyat” menjadi yang utama untuk dijadikan bahan kampanye oleh sebagian besar partai politik. Tetapi seringkali saat mereka mengucapkan kata “rakyat” bersamaan dengan itu pula mereka menyempitkan arti “rakyat” itu sendiri. Seolah kata “rakyat” hanya pantas disematkan pada kelompok yang mengamini ide-ide mereka saja. sedangkan bagi kelompok yang berlawanan dengan ide-ide mereka serta-merta diposisikan sebagai kelompok yang tidak perlu dibela sebagai rakyat.
Sikap semacam itu seringkali diamini dan dilakukan juga oleh banyak para tokoh intelektual dan cendekiawan tersohor. Biasanya bersamaan dengan mereka mengucapkan kata “rakyat”, mereka bersikap; jika mereka sunni maka seolah-seolah syiah tidak termasuk sebagai rakyat, jika mereka heteroseksual maka LGBT seolah-olah tidak termasuk sebagai rakyat. Tentu banyak persoalan serupa kalau mau kita sebutkan satu per satu.
Fakta bahwa adanya stigma terhadap seorang yang memilih menjadi seorang penganut Syiah dan LGBT tidak bisa ditutup-tutupi. Bahkan acapkali dibumbui dengan diskriminasi, perundungan, persekusi, bahkan dicap sebagai penyakit yang berbahaya. Sehingga mereka menjadi semakin tersisih di tanah airnya sendiri. Padahal kita tahu, persoalan semacam itu adalah persoalan hak atas keyakinan dan ketubuhan yang letaknya sangat pribadi dan dilindungi oleh konstitusi. Pada sebuah kasus seorang transpuan terpaksa harus menikahi perempuan–—–dalam sebuah pernikahan temporer–––hanya sekadar untuk menghindari stigma buruk dari keluarga dan masyarakat. Bukankah keabaian kita terhadap persoalan ini akan terus menumbuhkan persoalan-persoalan baru?.
Saya geram melihat pola sebagian besar partai politik dalam strategi penjaringan suara elektoral mereka. Partai-partai yang mengagung-agungkan kata “toleransi” dan “kebhinekaan” tidak pernah berani menyuarakan suara-suara yang sesungguhnya jauh lebih minoritas dari pada hanya sekadar agama dan etnis tertentu. Karena memang secara politik elektoral, menyuarakan keresahan penganut Syiah dan LGBT adalah langkah yang kontraproduktif dalam strategi penjaringan suara. Karena konsekuensinya adalah: partai yang berani menyuarakan keresahan Syiah dan LGBT akan menabrak tembok besar dan akan mendapatkan stigma yang sama buruknya dengan stigma yang disematkan pada Syiah dan LGBT itu sendiri. Dan tentu saja partai tersebut akan banyak kehilangan potensi suara yang bisa dijaring.
Secara berbeda Partai Rakyat berpendapat: ketika sekelompok orang bersepakat membentuk sebuah partai politik, sejak itu pula mereka dibebankan hal yang jauh lebih paradigmatik daripada hanya sekadar meraup suara elektoral sebanyak-banyaknya. Partai politik seharusnya menjadi sarana yang memberikan pendidikan kepada rakyat. Salah satu yang utama adalah pemahaman tentang nilai-nilai kebhinekaan dalam sebuah negara demokrasi.
Maka kami merasa paradigma tentang kebhinekaan yang telah cemar dengan stigma terurai diatas harus direkonstruksi secara total. Sebagai partai yang menganut kebhinekaan akut, kami menilai; penganut syiah dan seorang LGBT di Indonesia adalah juga rakyat yang harus kami perjuangkan demi pemenuhan hak-hak mereka untuk hidup tanpa stigma dan diskriminasi. Kami mengajak para intelektual, cendekiawan khususnya; sosiolog, antropolog, psikolog bersama-sama tokoh agama dan tokoh masyarakat yang memiliki khidmat dan kebijaksanaan sebagai perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia untuk ikut mencari titik equilibrium dari persoalan ini.
Saya membayangkan suatu hari seorang Syiah tidak perlu bertaqqiyah dan seorang LGBT secara terbuka mengakui diri mereka seutuhnya dengan tenang dan aman karena; keluarga, masyarakat dan negara ikut menjamin pemenuhan atas hak hidup mereka tanpa stigma dan diskriminasi. Dan saat itulah semboyan “Bhineka Tunggal Ika” menjadi sebuah perwujudan yang rakyati, tutup Arvindo.