ini kisah menarik soal Muhammad Tamzil, mantan Bupati Kudus, Povinsi Jawa Tengah. Pada 2004 orang ini ditangkap KPK dan dijebloskan ke penjara atas vonis korupsi. Anggaran bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus digerus secara ilegal dan masuk di kantong pribadinya.
Sejak ia bebas menghirup udara kebebasan pada 2015, banyak pihak menganggap karir politknya ambyar,selesai. Kalau pun ia nekad kembali maju ke Pilkada berikutnya, tak mungkin menang.
“Wong ia barang busuk yang berbahaya”,tutur barisan pendukung lawan politiknya di Pilkada sebelumnya.
Tak terasa waktu begulir begitu cepat. Pada 2018, Tamzil kembali tecatat di KPU sebagai peserta pilbub Kudus pada 2018. Dinamika politik saat itu sarat dengan diksi peyoratif menghantam pihaknya.Namun ia tak peduli.
Proses terus berjalan sampai tiba waktunya KPU mengumumkan pemenang. Ternyata Tamzil keluar sebagai the winner dan berhak menduduki kusi Bupati Kudus untuk masa bhakti lima tahun. Kudus pun gaduh akibat nyaringnya suara protes dari kubu lawan yang selalu diunggulkan oleh lembaga survey.
“Bagaimana bisa mantan koruptor memenangkan pilkada ?. Di mana akal sehatnya para pemilih Tamzil?. Seorang anak manusia yang hanya kaya mengumbar janji namun miskin bukti, kok bisa dipilih oleh mayoritas pemilih Kudus?. Ah pasti dia akan kembali korupsi. Lihat saja nanti”, ucap kubuh lawan yang kalah.
Tetapi itulah demokasi. Itulah HAM politik yang memiliki payung hukum di negeri benama NKRI.Karenanya tiap WNI memiliki hak politik untuk dapat dipilih dan memilih pemimpin.Sebab itu upaya melabrak aturan main ini akan mengundang protes bahkan bisa dipidanakan.Siapa berani mengambil risiko?.
Di titik ini kita menyaksikan dimana HAM mengalahkan moral perlawanan tehadap kejahatan dengan menggunakan instrumen hukum yang jauh dari kata hati yang bening.
Apa yang terjadi kemudian ?.
Ternyata Tamzil kembali ditangkap KPK 26/06/2019. Sama sepeti kasus sebelumnya yakni korupsi. Kali ini modus koupsinya jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Kudus.Akibat perbuatannya negara dirugikan sebesar kurang lebih Rp.2,8 miliar.
“Yang juga kami sesalkan adalah ada pihak-pihak dari sembilan orang yang diamankan ini yang juga terpidana kasus korupsi sebelumnya. Nanti akan kami lihat lebih jauh, tentu ini akan jadi pertimbangan untuk proses lebih lanjut dari perkara ini,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Kubu lawan soraksorai karena dugaannya benar. Dan yang lebih penting dari itu ialah Tamzil benar-benar tamat secara politik.”Mampus panjenengan”, teriak kubu lawan dalam bahasa Jateng yang kental.
Rasa malu hilang
Rasa malu mencegah perbuatan salah dan dosa.Juga menghalau diri hadir di ruang publik. Rasa ini datangnya dari nurani yang bening.
Pada tradisi Bugis Makassar rasa malu mendorong lahirnya pengucilan, pembunuhan atas nama siri na pacce dan penghapusan nama dari anggota keluarga.Sanksi ini bertujuan agar wibawa keluarga kembali seperti semula.
“Lebih baik mati bersama siri daripada hidup tanpa siri”, kata manusia Bugis Makassar.
Melihat Tamzil dengan menggunakan kacamata siri, jelas Tamzil adalah manusia yang sudah kehilangan rasa malunya.“Degaga sirina.Tena sirina”, kata manusia Bugis- Makassar. Penyebabnya: keserakahan.
Pada kasus Tamzil, dalam konteks politik praktis, sebenarnya orang aneh ini tidak sendirian kehilangan rasa malunya. Elite di tubuh parpol pun sama.Jadi keduanya tak punya malu.
Sudah tahu orang ini bermasalah, tetap saja diusung sebagai cabub.Praktis dua pihak ini sama sama tak punya malu.Maka dari itu KPK memberi rekomedasi kepada parpol agar tidak lagi mengulangi kasus yang sama, memilih manusia yang cacat moral.
Jika ada yang bertanya, diantara Tamzil dan elite parpol, mana yang salah dan lebih tak punya rasa malu?. Jawabannya ialah elite parpol.Sebab gegara alite parpol seorang manusia tak punya malu akhirnya lolos menjabat bupati.
Kalaulah anda masih punya rasa malu,pertahankan. Caranya : jangan pilih mantan koruptor di 2024 .(*)