Liputantimur.com | Pengorbanan yang ikhlas itu dasarnya adalah cinta dan kesetiaan. Sehingga tidak ada kalkulasi rugi dan untung seperti dalam usaha perniagaan. Meskipun dalam perniagaan juga diperlukan rasa cinta dan keikhlasan serta kesetiaan, agar tidak sia-sia kalau pun harus mengalami kerugian entah dalam bentuk material atau yang lebih bersifat spiritual.
Karena itu dalam konsepsi agama langit, semua yang dilakukan idealnya dipahami dan disadari sebagai ibadah, sehingga rasa cinta keikhlasan dan nilai kesetiaan senantiasa melandasi semua yang dilakukan. Dan dengan kesadaran serta pemahaman seperti itu juga kegembiraan dan kebahagiaan akan dirasakan sebagai suatu kenikmatan yang tidak mungkin dapat dicercap oleh orang lain.
Memberi tanpa diminta itu, jelas beranjak dari kesadaran dan pemahaman yang ikhlas, tanpa perduli dengan imbalan yang mungkin akan diperoleh kemudian. Maka itu, kesetiaan dan rasa cinta serta keikhlasan perlu dijaga dan terus dibangun agar orientasi hidup tidak sampai terpuruk pada kalkulasi rugi dan untung semata.
Tentu saja keuntungan dan kerugian dalam bentuk finansial maupun spiritual untuk masalah-masalah tertentu perlu diperhitungkan. Tetapi bukan untuk meraih laba semata, tetapi agar kerugian untuk hal-hal yang tidak penting dan tidak perlu jangan sampai mengganggu suasana batin untuk menikmati suasana kegembiraan dan kebahagiaan hati yang tidak mungkin ternilai harganya.
Kesadaran dan pemahaman untuk memberi sesuatu yang dibutuhkan oleh orang lain apapun bentuknya tanpa pernah diminta merupakan kecerdasan spiritual yang tidak mungkin bisa dimiliki oleh semua orang. Kendati laku spiritual itu dapat dilakukan oleh setiap orang yang percaya kepada adanya Tuhan. Sebab laku spiritual itu sendiri merupakan upaya setiap orang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Karena itu, pemberian yang datang pada waktu yang tepat meski dengan nilai yang tidak seberapa besarnya akan dirasakan sangat amat berharga oleh mereka yang menerima pemberian itu. Ibarat obat yang sangat diperlukan pada waktunya yang tepat, bisa saja jadi berbanding terbalik, karena terlambat diberikan pada waktunya yang tepat. Apalagi yang bersangkutan sudah mati, maka rasa penyesalan pun bisa merundung orang ingin memberikan obat tersebut.
Pengalaman spiritual serupa ini tidak sedikit dialami oleh banyak orang. Seperti hasrat untuk berbakti kepada orang tua, misalnya ingin memberangkatkan mereka beribadah haji ke Makkah, maksimal hanya bisa ditebus dengan memberangkatkan seseorang dengan keyakinan dan kepercayaan dalam kesepakatan untuk mewakili orang tua yang sudah terlanjur almarhum dan almarhumah.
Kompensasi dalam laku spiritual serupa itu, biasanya diekspresikan dalam bentuk tirakat. Dalam prosesi tirakat pun bisa dilakukan dengan melakukan puasa di luar bulan ramadhan. Makna tirakat juga acap dipahami oleh banyak orang sebagai untuk mendapatkan petunjuk dari langit, seperti sholat istikharah atau tahajud pada waktu tengah malam.
Laku spiritual serupa ini sesungguhnya dapat dieksplorasi lebih jauh, sehingga kedekatan hati atau ruh kita bisa semakin dekat kepada Allah. Agaknya, dari puncak pengembaraan spiritual serupa inilah, pemahaman terhadap konsep manunggaling kawulo lan Gusti bisa dipahami, hingga seakan-akan diri kita telah berada dalam dekapan Tuhan.
Baca Artificial Intelligence yang Memanjakan & Ancaman Terhadap Nilai-nilai Luhur Kemanusiaan
Kekeliruan terhadap pemahaman manunggaling kawulo lan Gusti yang salah kaprah adalah klaim terhadap diri sendiri telah menjadi Tuhan. Sehingga keseriusan laku spiritual yang dilakukan Syekh Siti Jenar, tidak dapat dicerna dengan baik oleh masyarakatnya ketika itu.
Akibatnya, Syekh Siti Jenar harus lega lila menerima hukuman yang dilakukan terhadap dirinya. Artinya, pemahaman dan kesadaran meniti wilayah akidah dan muamalah dapat saja dilakukan dengan kecermatan yang Arief dan bijaksana. Banten, 18 Juni 2024.
Penulis : Jacob Ereste