Liputantimur.com, Makassar – Pemerintahan berbasis tata negara dan aturan administrasi yang rigid perlu dikawinkan dengan kearifan lokal agar memiliki spirit partisipatif yang dapat mendorong peran aktif masyarakat.
Sistem hukum Indonesia harus mempertimbangkan basis budaya dan aspek sosiologisnya.
Dengan begitu, teorisasi hukum dan pemerintahan memiliki pijakan konteks dan daya eksplanasi yang kuat untuk memecahkan masalah konkret.
Implikasinya, langkah yang perlu digagas dan komitmen yang harus ditegaskan adalah bangsa Indonesia berani menentukan apa yang terbaik bagi bangsanya.
Termasuk dalam membangun teori hukum yang memiliki karakteristik ke-Indonesiaan.
Gagasan itulah yang saya sampaikan dalam orasi ilmiah berjudul, “Hibridisasi Hukum Tata Negara Positivistik dengan Kearifan Lokal dalam Mengurangi Kompleksitas Kepemerintahan”, dalam pengukuhan gelar Profesor kehormatan di Universitas Hasanuddin, Makasar.
Pemikiran tersebut berangkat dari pengalaman saya dalam mengelola pemerintahan mulai dari Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur hingga Menteri Pertanian saat ini.
Ini juga bagian dari pergulatan saya dalam melihat teori dari pendidikan formal dan kenyataan di lapangan selama ini.
Baca juga : Yenny Wahid : Perempuan yang Hamil adalah Investasi
Dalam konteks saat ini, pemikiran di atas mendorong Kementerian Pertanian untuk terus mendukung kemajuan pertanian modern tanpa meninggalkan kearifan lokal.
Saya terus mendorong petani milenial dan transformasi digital dalam budidaya pertanian.
Karena saya sadar bahwa saat ini tengah terbentuk generasi baru petani (new peasant generation) yang melek teknologi digital dan didorong oleh spirit entrepreneurship.
Petani milenial ini kami harapkan bisa bahu-membahu dengan petani generasi sebelumnya dalam memajukan dan mendorong modernisasi pertanian Indonesia.
Inilah kolaborasi antara pengetahuan baru dengan kearifan lokal yang sudah tumbuh sebelumnya.
Sumber: Halaman Facebook Resmi, Syahrul Yasin Limpo, Mentri Pertanian Republik Indonesia.