Oleh : Pettarani
ACHMAD FAUZI adalah seorang mahasiswa Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII Yogyakarta. Sehari yang lalu, tepatnya,Senin (23/01/2023) pemikirannya terkait manusia Indonesia dari etnis Tionghoa dimuat oleh Harian Kompas pada kolom opini di halaman enam.
Achmad menuangkan narasinya ke dalam 23 paragraf dan diberi judul “Tionghoa dan Kepemimpinan Indonesia” .
Memulai tulisannya Achmad mengajukan dua pertanyaan menohok dalam satu tarikan nafas,” Mungkinkah Indonesia ke depan dipimpin keturunan Tionghoa.Siapkah seluruh elemen bangsa menerima kenyataan dipimpin putra terbaik keturunan Tionghoa?”.
Achmad tidak menjawab pertanyaannya itu secara tegas. Namun dia mengajak seluruh elemen bangsa agar bisa menerima kenyataan WNI etnis Tionghoa menjadi pemimpin Indonesia.Dia jua menolak dikotomi masyarakat sipil.
Ajakan dan penolakan Achmad itu didasari dua fakta utama yakni fakta politik (kesepakatan nasional,red) dan fakta historis yang mengungkap keterlibatan kelompok Tionghoa dalam syiar Islam serta perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Fakta politik
Menurut Ahmad, Indonesia sudah melepaskan diri dari pengaruh politik segresi (pecah belah) kolonial yang menyekat secara dikotomi pribumi dan nonpribumi.
Nah, konsekuensi politiknya kata Achmad, semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih dalam kontestasi pemilihan umum.
Konsekuensi itu adalah prinsip dasar dari aspek politik berbangsa dan bernegara yang menghendaki semua elemen bangsa mentaatinya sepenuh hati (red)
Sayangnya, lanjut Achmad, sejumlah pihak masih peyoratif (nyinyir, sinis, menolak halus) memandang warga keturunan Tionghoa. Padahal, lahir, tumbuh, dan berkembang di Indonesia merupakan takdir ilahiah yang tak seorang pun mampu menolaknya.
Fakta historis
Presiden RI ke empat Abdul Rahman Wahid akrab disapa Gus Dur, adalah sosok tokoh nasional yang memiliki garis keturunan Tionghoa dari trah Tan A Lok.
Ditelusuri ke belakang terungkap fakta bahwa Tan A Lok adalah saudara kandung dari Raden Patah (Tan Heng Hiang) pendiri Kerjaan Islam Demak. Baik Tan A Lok dan Raden Patah keduanya adalah anak kandung dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya V dengan isterinya Putri Campa.
Dari sisi sejarah syiar islam di Tanah Jawa, kita tak ragukan lagi peranan Tionghoa.
Lebih jauh, Achmad menunjukkan lagi kepada kita Tinghoa yang menyebarkan Islam dan menjadi sumber inspirasi utama bangsa Indonesia melakukan perlawanan kepada kolonial Belanda di Jawa.
Antara lain Bong Swi Hoo, belakangan diketahui tokoh ini adalah Sunan Ampel. Begitu pun Sunan Giri ketahuan nama aslinya adalah Chin Ching dan Sunan Kalijaga bernama asli Gan Si Cang.
Semua yang disebut ini merupakan bagian Wali Songo, sejumlah ulama penyebar Islam di Tanah Jawa yang sangat terkenal.
Soemanto Al Qurtuby (2005) yang dikutip Achmad, mengatakan, keislaman Tionghoa jauh lebih tua ketimbang Jawa. Orang Tionghoa lebih dulu mengenal Islam ketika masyarakat Jawa masih terperangkap dalam dunia klenik (aktivitas mistis yang meminta bantuan terhadap dukun atau roh leluhur).
Wajar saja karena Islam pertama kali masuk ke Tiongkok pada tahun 652 (abad ke 5 M) di masa Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah ketiga.
Achmad mengatakan, Tionghoa adalah nafas perjuangan kemerdekaan yang lebur dengan pelbagai suku, agama, dan kebudayaan dalam satu spirit kebangsaan. Mereka bukan sekedar berjuang secara fisik, mengorbankan materi dan nyawa, melainkan juga melalui perjuangan literasi.
Surat Kabar Sin Po adalah salah satu bukti di mana Tionghoa terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan malualui literasi.
Sin Po kata Achmad, dialah yang merubah Belanda Inlander menjadi Indonesia Bumiputera. Politik bahasa ini kata bertujuan mengangkat harkat bangsa Indonesia dari mental budak.
Tanpa rasa takut, Sin Po juga mempublikasikan lagu ” Indonesia Raya” gubahan WR Supratman.
“Indonesia lahir melalui gerakan konvergen emansipasi suku, agama, ras dan antar golongan. Karena itu suda semestinya tak ada lagi dikotomi terhadap civil society“, kata Achmad .(*)