Satu hal yang perlu diingat di sini, “Membiarkan pihak lemah tidak menuntut balik sama artinya membiarkan KKN disuburukan oleh pejabat negara bermental korup”.
apalah arti sebuah nama”, ungkap William Shakespeare, penulis drama Reomeo and Juliet, asal Inggris. Bagi publik figur, pejabat negara, perusahaan besar, nama memiliki nilai ekonomi tinggi.
Makin terkenal ia, makin besar namanya, makin mahal harganya. Karena itu nama harus dijaga tetap bersih.Tak boleh tercemar.
Sebab ketika nama rusak, nama tercemar, ketika itu juga pendapatan besar mengecil hingga menghilang karena tidak laku atau dipecat dari jabatan.
Bagi invidu non pejabat, non publik figur, ia akan menjadi bulan-bulanan dicibir warga sekampung karena namanya rusak secara moral.
Bahkan dibunuh oleh anggota keluarga demi menegakkan siri keluarga, kata orang Bugis-Makassar yang masih kuat menjaga adat moyangnya.
Secara moral, hukum dan ekonomi, nama baik adalah harga mati.Taruhannya, bisa nyawa.
Persumption of innocent
Di Indonesia banyak perampok uang rakyat berjuang menegakkan nama baiknya dari tuduhan pihak lain (pelapor), seperti LSM, dll. Mengherankan.
Namun yang lebih mengherankan ialah penegak hukum malah menyokong tuntutan perampok kepada pelapor dengan dalih “pencemaran nama baik”.
“Pelapor menutut kebenaran ditegakkan berdasarkan bukti kuat yang dikantongi.Kok malah dituntut balik?”, tanya warga net penuh keheranan.
Pengacara Fulan menjawab pertanyaan itu.
“Fulan kan belum menerima status tersangka dari pihak penegak hukum tetapi anggota LSM ini sudah menuduh Fulan pelaku korupsi. Apalagi tuduhannya ini disebarkan di ruang pulik. Ini melabrak asas hukum ‘presumption of innocent’ (praduga tak bersalah). Ini pencemaran nama baik. Ini sangat merugikan klien kami”.
Banyak sekali kasus yang ditemui, pelapor mengatongi bukti valid atau informasi A yang tak terbantahkan mengungkap lika-liku kurupsi si Fulan.Dengan bukti itu sewajanya polisi menolak memproses laporan Fulan.
Namun yang terjadi adalah kondisi seperti ini : pelapor, penutut keadilan, tetap saja ditahan oleh penegak hukum. Alasannya :”supaya tidak kabur”.
“Kami hanya menjalankan tugas menindak lanjuti laporan si Fulan. Maka biarlah hakim yang memutuskan di persidangan. Karena itu kami harus menahan dulu si Fulan supaya tidak kabur”, kata polisi.
Dari sana kita bisa melihat kebenaran untuk sementara di bungkam oleh azas presumption of innocent dan delik pencemaran nama baik.
Pertanyaannya, jika kebenaran di pengadilan akhirnya memihak pada pelapor, apakah pelapor dapat menuntut balik kepada si Fulan dengan tuduhan yang sama: “pencemaran nama baik?”. Tentu saja.
Bukankah nama baik adalah harga mati?.Nyawa taruhannya?. Bukankah pula nama baik dilindungi oleh negara melaui hukum yang adil?
Namun faktanya, berhadapan dengan publik figur, apalagi pejabat negara, pihak pelapor yang lemah jarang mengajukan tuntutan balik.Selain takut nyawanya melayang. Ia pun tak mau repot berurusan dengan hukum.
Satu hal yang perlu diingat di sini, “Membiarkan pihak lemah tidak menuntut balik sama artinya membiarkan KKN disuburukan oleh pejabat negara bermental korup”.
Di sinilah pentingnya lembaga Komisi Yudisial dan LSM anti korupsi mengawal kasus-kasus pidana yang melibatkan masyarakat dengan publik figure, utamanya pejabat negara.
Penting agar keadilan bisa memenggal pejabat negara yang korup(*).